Fadilatus Saadah, 11, baru pulang dari sekolah. Saat ditemui koranmadura.com, di kompleks Rumah Susun (Rusun) Jemundo, Puspo Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (4/11), gadis itu masih mengenakan seragam sekolah dengan didampingi ibunya, Siti Marwah, 29.
Fadil, panggilan akrab siswa kelas 5 SDN Jemundo 1 itu merupakan salah seorang anak keluarga pengikut Syiah Sampang yang hingga kini masih menempati Rusun yang berada tidak jauh dari Pasar Puspo Agro Sidoarjo itu. Di lokasi pengungsian tersebut, terdapat puluhan orang anak-anak keluarga kelompok Syiah. Kebanyakan masih sekolah TK dan SD. Ada juga yang kuliah dan mondok ke pesantren.
Ditanya kesannya berada di Jemundo, gadis kelahiran Juli 2008 itu mengaku senang, karena suasananya ramai dan fasilitasnya lengkap.
“Di sini tempatnya nyaman dan ramai,” kata Fadil sambil melirik ke Marwah yang duduk di sebelahnya.
Tapi, kata gadis itu, tidak enaknya suasana di perumahan tersebut terlalu monoton dan tidak seperti di kampungnya. Selain sarana dan teman bermain yang terbatas, ia juga kesulitan saat harus belajar bersama dengan teman sekelas.
“Sebab, di perumahan ini yang seklas hanya seorang. Lainnya adalah adik kelas. Sedang untuk keluar ke rumah teman sekelas belum berani karena jalanan ramai,” katanya.
Seandainya diminta memilih antara sekolah di Jemundo atau di Madura, gadis yang hobi kaligrafi Arab itu memilih sekolah di Madura.
Alasannya, di Jemundo, sebagai pendatang ia sering merasa canggung saat akan bergaul dengan teman sekolahnya, meski diakuinya mereka menerima tanpa membeda-bedakan dengan anak-anak penduduk asli daerah tersebut. Selain itu, dalam pergaulan dengan teman sekelas, seringkali terkendala bahasa.
“Di sini kalau lebaran sepi. Tidak seperti di Madura bisa bertemu famili,” katanya.
Apa yang dirasakan Fadil, ternyata juga dirasakan anak-anak pengungsi Syiah lainnya, seperti Amiruddin, 13, Abdul Ghafur, 13, Sulisyiawati, 15 dan Zainal Abidin, 15. Mereka sangat ingin bisa bersekolah di kampung halamannya di Madura.
Pimpinan Syiah Sampang, Tajul Muluk, mengaku kehidupan anak-anak di Kompleks Rusun Jemundo Sidoarjo terjamin, baik dari segi kesehatan maupun pendidikan.
“Mereka bisa belajar di sekolah yang dekat dan maju. Mereka juga bisa berinteraksi dengan anak-anak di luar tempat asal mereka,” katanya.
Selain kegiatan belajar di sekolah, anak-anak pengungsi itu juga mendapatkan pendidikan keagamaan dan Alquran di pengungsian. Kegiatan itu dilaksanakan setiap sore selepas kegiatan belajar di sekolah.
“Kami sendiri yang mengisi pendidikan agama untuk mereka di sini, termasuk pendidikan baca-tulis Alquran,” jelas Tajul.
Hanya, menurut mantan narapidana kasus penistaan agana itu, hak bermain mereka sangat terbatas, tidak seperti di Madura yang bisa bermain dengan bebas.
“Di sini adanya sarana permainan moderen dan tidak seperti di Madura yang mengandalkan kreatifitas karena bermain dengan alam,” jelasnya.
Aktivis Lembaga Kajian Islam dan Hak Asasi (LKIH) Surabaya, Nasrullah, mengatakan pemerintah harus memberikan hak yang luas terhadap anak-anak pengungsi itu sesuai Konvensi Hak-Hak Anak PBB 1989.
Di dalam konvensi tersebut terdapat jaminan hak untuk bermain, mendapat pendidikan, mendapakan perlindungan dan hak untuk mendapatkan kesamaan.
Sebagai bagian dari anggota PBB, kata dia, Indonesia termasuk yang menandatangani dokumen konvensi tersebut dan harus melaksanakannya sebagai bagian dari komitmen.
“Jika tidak, maka Indonesia bisa mendapatkan sanksi atas kelalaian itu,” katanya. (G. Mujtaba/ROS/VEM)