JAKARTA, koranmadura.com – Tepat pada tanggal ini, pada 2015 pemerintah Jepang meminta maaf secara resmi kepada Korea Selatan atas kasus perempuan-perempuan yang dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara-tentaranya selama masa Perang Dunia Kedua.
Dalam konferensi pers di Seoul, Fumio Kishida, Menteri Luar Negeri Jepang, mengakui keterlibatan otoritas militer dalam kasus budak seks atau jugun ianfu itu.
Kishida juga menyebut kasus tersebut telah melukai kehormatan dan martabat sejumlah besar perempuan, seperti yang dikutip dari laman resmi Kementerian Luar Negeri Jepang.
BBC menyatakan diperkirakan ada lebih dari 200 ribu perempuan yang direkrut untuk menjadi budak seks tentara-tentara Jepang sepanjang Perang Dunia Kedua. Sebagian besar berada di Korea, sementara yang lain berada di China, Filipina, Indonesia, dan Taiwan.
“Sebagai Perdana Menteri Jepang, Perdana Menteri Shinzo Abe menyampaikan lagi permintaan maafnya yang paling tulus dan penyesalannya kepada semua perempuan yang mengalami pengalaman menyakitkan serta menderita luka fisik dan psikologis yang tak dapat disembuhkan sebagai wanita penghibur,” ujar Kishida.
Pemerintah Jepang dan Korea Selatan juga mencapai kesepakatan untuk masalah jugun ianfu itu. Dalam skema yang disepakati saat itu, Jepang siap membayar 1 miliar yen atau senilai USD 8,3 juta dari anggaran nasionalnya untuk korban perbudakan seks tentara Jepang di Korea Selatan.
Namun beberapa tahun kemudian, Korsel mengatakan kesepakatan ganti rugi 1 miliar yen itu tidak sepadan dan tidak memenuhi kebutuhan para korban. Presiden Korea Selatan Moon Jae-in menyebut kesepakatan itu sangat cacat. Dia mendorong langkah tindak lanjut untuk menyelesaikan isu yang memicu perdebatan itu.
“Kesepakatan itu tidak bisa menyelesaikan masalah perempuan penghibur,” kata Moon dikutip Reuters pada 28 Desember 2017. Menurutnya, kesepakatan itu merupakan perjanjian politik yang mengesampingkan korban dan publik serta melanggar prinsip utama masyarakat internasional soal penyelesaian masalah historis.
Merespons hal tersebut, Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kano menyatakan kesepakatan itu sudah final dan tak dapat diubah lagi. Kano pun menegaskan segala upaya untuk merevisi kesepakatan akan membuat hubungan kedua negara tak dapat dikendalikan.
Upaya membatalkan kesepakatan pada 2015 itu dilakukan sejumlah korban. Namun kemarin Mahkamah Konstitusi Korsel menolak upaya banding yang dilakukan kelompok korban itu.
Presiden Mahkamah Konstitusi Yoo Nam-seok mengatakan perjanjian itu adalah perjanjian politik yang mencoba menyelesaikan masalah jugun ianfu. Kesepakatan itu tidak seperti perjanjian di antara dua negara dan tidak menciptakan tanggung jawab hukum di pihak pemerintah kedua negara.
“Tidak dapat dikatakan bahwa hak-hak para korban militer Jepang itu dilanggar oleh kesepakatan tersebut,” ujar Yoo dalam putusan mahkamah itu seperti yang dikutip dari The Straits Times.
Lalu bagaimana dengan korban perbudakan seksual di Indonesia? Nursyahbani Katjasungkana, yang beberapa waktu lalu mendampingi korban, menyebut tidak ada permintaan maaf secara resmi dari pemerintah Jepang.
“Hanya, Jepang menyediakan (uang) kerahiman dan bagi korban yang menerima uang itu juga menerima pernyataan maaf secara tertulis,” ujar pendiri Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) itu. (DETIK.com/ROS/DIK)