Oleh: MH. Said Abdullah
Persoalan keruwetan birokrasi pemerintah ternyata tidak hanya terjadi di lingkungan pegawai negeri sipil (PNS). Di BUMN pun persoalan birokrasi dalam bentuk lain diam-diam merebak luar biasa.
Kesemrawutan itu belum lama diungkap Menteri BUMN Erick Thohir. Kesemrawutan itu pertama terlihat pada pembentukan jaringan usaha yang jauh dari proporsional. Bayangkan, BUMN Krakatau Steel ternyata memiliki sekitar 60 anak perusahaan. Sulit membayangkan bagaimana manegemen puncak perusahaan plat merah itu dapat berkembang lincah dan focus pada bidang garapan utamanya.
Tidak perlu studi intensif memprediksi dan menganalisis kemunculan potensi persoalan pengelolaan. Pemaparan fakta bahwa Krakatau steel sekarang punya utang besar yaitu 40 triliun cukup menjelaskan keterjeratan problem pengelolaan.
Ketika jaringan perusahaan terlalu luas, semua hal digarap apalagi tanpa didukung profesionalisme memadai kemungkinan terjerat masalah seperti utang membengkak bukan hal luar biasa. Pucuk pimpinan bukan hanya mudah kehilangan focus usaha. Yang jauh lebih kompleks kerancuan pengendalian dan kontrol ketat seluruh jajaran perusahaan.
Temuan kedua yang relatif kontroversial dari Menteri Erick Thohir banyaknya BUMN yang memiliki areal garapan usaha atau anak usaha yang jauh berbeda dari bidang usaha utama. Erick Thohir mencontohkan PT PANN sebagai perusahaan pelat merah yang bisnis utamanya tak fokus. Perusahaan itu sebetulnya bergerak dalam bisnis leasing kapal laut namun memiliki dua hotel.
Di luar dua temuan baru itu sempat sebelumnya mencuat ke permukaan persoalan luar biasanya gaji direksi BUMN. Termasuk jadi pembicaraan publik tentang mafia seperti mafia migas dan berbagai produk pertanian.
Sesuai namanya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan bagian dari upaya pemerintah mengelola kekayaan negara dan berbagai kebutuhan primer masyarakat secara efektif dan efisien serta mandiri. Melalui sekurangnya tiga prinsip itu pemerintah berharap ada terobosan, inovasi, kreativitas, efisiensi dan efektivitas kinerja yang berbeda dari birokrasi pemerintahan.
BUMN merupakan perusahaan yang secara prinsip didirikan bertujuan memperoleh keuntungan untuk membantu keuangan negara. Bahkan BUMN yang melayani kebutuhan masyarakat seperti PLN, KAI misalnya tetap diharapkan memberi keuntungan atau setidaknya mampu mandiri tanpa perlu subsidi pemerintah.
Beberapa BUMN sepenuhnya dituntut memberikan keuntungan baik untuk melayani kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. BUMN konstruksi seperti WIKA, Hutama Karya, Adhikarya, PP sudah relatif lama didorong pemerintah agar mampu mendapatkan berbagai proyek di luar negeri.
Dari paparan selintas itu sangat jelas keberadaan BUMN merupakan bagian dari aktivitas pemerintahan yang sepenuhnya diharapkan dapat memberikan kontribusi pada keuangan negara. Karena itu prinsip-prinsip profesional mutlak harus menjadi pijakan pengelolaan BUMN.
Ketika pemerintah berusaha keras memangkas persoalan birokrasi dan regulasi untuk merespon tuntutan dunia bisnis dan upaya peningkatan investasi memang terasa aneh jika praktek pengelolaan jauh dari efisien terjadi di BUMN.
Pengungkapan berbagai praktek pengelolaan yang kurang sejalan prinsip profesional oleh Menteri BUMN Erick Thohir diharapkan menjadi titik awal pembenahan keseluruhan institusi bisnis yang dimodali uang negara seperti BUMN, BUMD, BUMDes.
Bisnis harus dikelola profesional jika tak ingin bangkrut. Tuntutan profesionalisme makin tinggi di era persaingan yang makin keras ini. Pilihannya jelas antara siap bersaing, bertarung dalam belantara keras dunia bisnis atau terjengkal dan terpuruk.