Oleh: MH. Said Abdullah (*)
Melelahkan dan menjemukan. Mungkin dua kata itu menggambarkan suasana perdebatan, perbincangan diskusi tentang Natal dan perayaan Tahun baru, yang belakangan ini selalu muncul setiap akhir tahun. Selalu berulang dan kadang menimbulkan ketegangan yang ironisnya di kalangan umat Islam Indonesia sendiri.
Sementara itu, kalangan umat Kristiani, yang menjadi obyek perbincangan terlihat santai-santai saja. Tidak terganggu dan praktis tak pernah memberikan respon ataupun reaksi. Peribadatan Natal tetap berlangsung hikmat, termasuk yang berlangsung tahun ini. Mereka seakan berkata, “Mau mengucapkan selamat natal atau tidak, tak berpengaruh. Perayaan Natal tetap jalan terus.”
Dari sini saja tergambar paradigma berpikir umat Islam negeri ini ketinggalan. Sibuk memperdebatkan perayaan umat agama lain, sementara yang diperdebatkan sama sekali tak mempersoalkan; sama sekali bahkan tidak peduli.
Mengapa kalangan Kristiani tidak peduli? Karena mereka memahami dan menyadari bahwa berbagai ucapan itu sebatas seremoni –untuk tidak disebut basa-basi dalam kehidupan sosial. Tidak ada pengaruhnya terhadap pelaksanaan peribadatan Natal. Tidak membuat Natal menjadi lebih hikmat atau meriah. Jadi, mengucapkan selamat Natal atau tidak, jauh dari kemungkinan mempengaruhi seluruh peribadatan Natal.
Makin aneh kan perilaku umat Islam negeri ini yang sibuk sendiri. Kalangan Kristiani menganggap ucapan selamat Natal tidak lebih sekedar seremoni atau sebatas relasi sosial, itu artinya tak ada kaitan dengan peribadatan. Siapapun yang sekedar mengucapkan selamat Natal tidak masuk sedikitpun sebagai bagian peribadatan Kristiani.
Dengan kerangka berpikir seperti itu seharusnya umat Islam menyadari bahwa tak ada nilai penting berbagai ucapan selamat Natal terhadap ‘ubudiyah’ Kristiani. Itu artinya, jika bagi kalangan Kristiani tidak penting, tidak berhubungan dengan peribadatan, seharusnya ummat Islam menyadari sehingga tidak perlu berlebihan keluar energi besar memperdebatan pada setiap tahunnya.
Ucapan selamat Natal itu sama saja dengan selamat Idul Fitri atau Idul Adha yang disampaikan kalangan non Islam kepada umat Islam. Kalangan non Islam mau mengucapkan atau tidak, tak akan mempengaruhi peribadatan pelaksanaan dua hari Raya Umat Islam itu.
Kalangan non Islam yang mengucapkan selamat Idul Fitri atau Idul Adha tidak otomatis menjadi seorang muslim. Demikian pula umat Islam, yang mengucapkan selamat Natal tak akan otomatis menjadi seorang Kristiani.
Ada alur pemikiran umat Islam yang terlihat jelas dari perbincangan tiada putus itu. Apalagi kalau bukan ketakmampuan membedakan antara aqidah dan ubudiyah dengan budaya atau aktivitas sosial keseharian. Semua hal dianggapnya sebagai aqidah dan ubudiyah formal sehingga mereka yang mengucapkan selamat Natal seakan sedang melakukan ibadah sesuai agama Kristiani. Demikian pula mereka yang merayakan tahun baru seakan sedang melaksanakan ritual Kristiani.
Jelas ini kesalahan logika sangat fatal. Siapapun umat Islam bahkan kalangan Kristiani sekalipun, tak akan pernah berpikir merayakan tahun baru sebagai peribadatan. Mereka beramai-ramai bertahun baru karena sedang liburan, cuti kerja dan perusahaan tempat mereka kerja baru tutup buku dan bagi-bagi bonus keuntungan. Sebatas itu.
Apa iya membunyikan lonceng di malam pergantian tahun yang biasa terdengar sebagai bentuk peribadatan? Menyalakan mercon sebagai wujud ‘ubudiyah’ termasuk pula membunyikan terompet gambaran sedang menyembah Tuhan? Jika aktivitas itu dianggap peribadatan, Tuhan tentu akan marah. Karena hampir semua yang meniup terompet dan bermain mercon selalu dengan bercanda ria, saling meledek, saling bergembira. Termasuk mereka yang membunyikan lonceng dan benda-benda lainnya, semua sekedar bergembira ria menyambut tahun baru.
Masih banyak persoalan kehidupan yang perlu mendapat perhatian serius seperti soal kemiskinan, keterbelakangan, kesehatan, lingkungan hidup. Jauh lebih bermanfaat bila energi umat Islam diarahkan pada upaya mencari solusi berbagai persoalan yang masih terbentang di depan mata itu. Pergantian tahun sekedar jeda sesaat, untuk melepaskan penat setelah sepanjang tahun bekerja keras. Ya bergembira ria, sambil dalam hati tak lupa mensyukuri berbagai karunia Tuhan, yang sangat luar biasa bagi negeri ini. Kedamaian dan kerukunan, persaudaraan serta semoga pula kebahagiaan. (*)
*Ketua Banggar DPR RI.