Oleh : Miqdad Husein
Salahkah jika ummat Islam negeri ini prihatin dan mengedepankan solidaritas terhadap saudaranya di negara lain yang mengalami musibah, penekanan dan penindasan? Tidak perlu jawaban panjang lebar. Jangankan kepada saudara sesama muslim, siapapun yang mendapat perlakuan dan tindakan semena-mena menjadi kewajiban syar’i bagi ummat Islam untuk membelanya.
Mereka yang berbeda agama adalah saudara secara kemanusiaan. Itu artinya, siapapun yang tertindas wajib dibantu, dibela dan yang menindas harus dilawan. Tidak ada di sini batasan normatif bahwa jika yang tertindas non muslim dbiarkan saja berlalu; tidak perlu dipedulikan. Demikian pula tidak ada sebuah aturan jika yang menindas muslim dibiarkan saja. Sangat jelas yang tertindas dibela yang menindas harus dilawan.
Belakangan di negeri ini sedang ramai perdebatan persoalan muslim Uighur di Xianjiang, Cina. Pemberitaannya saat luar biasa. Merebak pro kontra antara yang membela Uighur dan yang relatif memaparkan persoalan riilnya.
Berbeda dengan kasus muslim Bosnia, Palestina dan Afghanistan ketika menghadapi intervensi Uni Soviet, soal Uighur memang relatif kompleks. Pengungkapan ke permukaan ternyata kental pertarungan kepentingan yang tak ada kaitan dengan Uighur. Ada tarik menarik di dalamnya.
Di satu sisi digambarkan bahwa muslim Uighur mendapat perlakuan di luar batas kemanusiaan dari pemerintah Cina. Mereka, dimasukkan dalam camp-camp yang segalanya dibatasi. Termasuk, dalam menjalankan peribadatan. Namun dalam sudut pandang lain merebak pula pemberitaan bantahan serta pengungkapan data-data tentang aktivitas muslim Uighur.
Beberapa negara justru mendukung Cina dalam kaitan kasus Uighur. Mereka memberikan dukungan pada penjelasan bantahan pemerintah Cina terhadap tudingan perlakuan penindasan kepada muslim Uighur. Secara transparan pemerintah Cina menunjukkan bukti bahwa etnis Hui yang muslim dapat hidup tenang di sana tanpa ada masalah. Masjid dan mushollah bertebaran, kegiatan keagamaan berlangsung bebas. Tidak ada tekanan terhadap aktivitas keagamaan etnis Hui, yang beragama Islam di Cina.
Tindakan sangat ketat kepada muslim Uighur didasarkan fakta dan data tentang dugaan keterlibatan muslim Uighur sebagai separatis. Beberapa data juga memperlihatkan tentang keterkaitan muslim Uighur dengan ISIS, termasuk yang terbukti ditemukan di Poso, negeri ini. Itu artinya, persoalan muslim Uighur sudah memasuki persoalan kepentingan keamanan dan kedaulatan pemerintah Cina. Tindakan ketat dan perlakuan keras serta pengawasan diberlakukan pada sebagian etnis Uighur yang memang diduga terkait tindakan separatis dan terorisme.
Yang menarik, suara nyaring persoalan Uighur ini datang dari Amerika Serikat, yang saat ini sedang menghadapi masalah perang ekonomi dengan Cina. Mudah diduga bahwa pengangkatan persoalan Uighur dijadikan senjata oleh Amerika Serikat untuk menggalang tekanan kepada pemerintah Cina. Jadi jelas teriakan AS terkait Uighur memiliki latar belakang memperkuat posisi dalam pertarungan kepentingan ekonomi, yang belakangan memang mulai ketar ketir menghadapi Cina.
Bandingkan misalnya sikap AS yang sampai saat ini tak pernah mempersoalan tindakan penyerangan Arab Saudi di Yaman. Padahal dunia mengetahui betapa dasyat akibat serbuan Arab Saudi dan sekutunya terhadap Yaman. Berbasis data dari PBB, lembaga Save the Children mengumumkan laporan tentang sekitar 85 ribu anak-anak balita tewas karena krisis kekurangan gizi akibat perang sipil yang berlangsung sejak 2015. AS sampai saat ini tak pernah terdengar suara nyaringnya mempersoalkan penyerbuan ke Yaman.
Bagaimana dengan masyarakat negeri ini terkait Uighur? Ada benang merah yang tampak jelas. Semangat pembelaan cenderung bermuatan nuansa kebencian etnis kepada masyarakat keturunan Cina. Pembelaan kepada Uighur sangat jelas menguat atas dasar kebencian etnis. Ada dugaan masih terkait Pilpres yang nuansa persoalan kebencian kepada etnis Cina begitu kental termasuk tudingan pemerintahan Presiden Jokowi yang dianggap sangat miring ke Cina.
Di sinilah penting perlunya masyarakat negeri ini memilah-milah persoalan dengan lebih cermat memahami persoalan Uighur. Jangan sampai ada kesalahan informasi sehingga salah kaprah pula dalam tindakan. Perlu kehati-hatian agar ummat Islam tidak menjadi korban karena menari di atas gendang kepentingan negara lain.
Fakta bahwa sebagian muslim Uighur memperlihatkan tanda-tanda keinginan memisahkan diri. Ini artinya, akan menjadi dasar pemerintah menindak muslim Uighur karena dianggap sebagai kekuatan separatis, yang merongrong kedaulatan negara. Demikian pula permainan kepentingan AS yang sedang terlibat perang dagang dengan Cina. Semuanya membuat persoalan Uighur seperti benang kusut.
Dengan melihat kentalnya kepentingan AS yang berlagak sebagai pahlawan dalam persoalan Uighur serta data-data tentang keterkaitan Uighur dengan ISIS persolannya sangat jelas bukan lagi kepentingan keislaman dan kemusliman. Etnis Uighur sepenuhnya telah menjadi persoalan politik dan bukan lagi hanya tindakan kesewenangan pemerintah Cina kepada ummat Islam. Terbukti, ummat Islam etnis Hui di Cina, saat ini santai-santai saja, hidup penuh kedamaian.
Namun pemerintah Cina tetap harus dituntut bersikap lebih terbuka terkait Uighur. Semua pihak perlu mendapat akses sehingga mengetahui persoalan Uighur secara obyektif dan komprehensif.
Membela siapapun yang tertindas, merupakan kewajiban tak terbantahkan bagi seorang muslim. Baik karena ikatan persaudaraan sesama muslim maupun panggilan kemanusiaan. Tentu penting, itikad dan upaya serta proses harus bersemangat, bertitik tolak mewujudkan keadilan.