Oleh: MH. Said Abdullah*
Ketegangan Amerika Serikat dan Iran yang belakangan ini makin panas perlu diwaspadai Indonesia. Ada eskalasi ketegangan ketika Iran membalas kematian pemimpin tertinggi Pasukan Quds, sayap eksternal Garda Revolusi Iran, Jenderal Qasem Soleimani. Iran menyerang pangkalan AS di Erbil, Irak Utara dan Al Asad, Irak Barat.
Seluruh masyarakat dunia yang berpikir sehat tentu tak ingin ketegangan dua negara yang selama ini saling bermusuhan terus berlanjut. Apalagi sampai menjadi pemicu terjadinya perang dunia ketiga. Masyarakat dunia masih merasakan betapa dasyat dampak kehancuran kemanusiaan perang dunia pertama dan kedua, yang sampai hari ini masih menyisakan trauma.
Akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki di Jepang sampai detik ini masih membayang-bayangi mereka yang mengetahui baik atas dasar realitas empirik maupun melalui kajian ilmiah. Dari pengalaman mengerikan itu seakan muncul semacam kesepakatan masyarakat dunia untuk mencegah terulangnya kembali tragedi Hiroshima dan Nagasaki.
Kesungguhan menghindari terulangnya bom atom dasyat itu makin menguat ketika disadari saat ini persenjataan perang sangat jauh lebih canggih. Senjata nuklir yang saat ini dimiliki beberapa negara jika sampai dipergunakan dalam perang di era sekarang ini dampaknya ribuan kali lebih dasyat dari bom di Hiroshima dan Nagasaki. Dunia dipastikan akan hancur jika terjadi perang nuklir. Manusia akan musnah. Peradaban manusia akan kembali ke titik nol.
Pertanyaannya, apakah ketegangan Amerika Serikat dan Iran dapat memicu terjadinya perang dunia ketiga? Jika mengacu pada kesadaran pemahaman dan pengamalan bom atom di tahun 1945 masyarakat dunia optimis, siapapun terutama para pemimpin dunia diyakini berusaha keras menghindari tragedi kemanusiaan yang mengerikan itu. Namun demikian tetap perlu diwaspadai beberapa sikap dan tindakan pemimpin dan masyarakat dunia yang memiliki karakter warlike (gemar perang) dan mudah terpancing tindakan perang.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam tanggapannya menghadapi situasi dunia terkait ketegangan hubungan AS dan Iran sekalipun tetap optimis terwujudnya kedamaian dunia namun tidak menampik kekhawatiran potensi eskalasi ketegangan. Ini terutama terkait sikap Presiden Donald Trump yang terkenal sangat eksplosif. Demikian pula pemimpin Iran dan masyarakatnya yang selama ini merasakan dampak perlakuan AS bagaimanapun tak bisa diabaikan berpotensi pula menjadi pemicu perang.
Indonesia sendiri saat ini memang sedang sedikit mengalami gesekan dengan Cina terkait klaim sepihak Cina pada Natuna. Namun mengacu fakta dan dokumen juridis tak terbantahkan bahwa Natuna merupakan bagian dari kedaulatan Indonesia, apalagi berdasarkan pengalaman ketika klaim sejenis ditolak, diharapkan Cina dapat menyadari dan memahami sehingga menjaga hubungan baik dengan Indonesia.
Di tengah ketegangan AS dan Iran yang diharapkan segera berakhir tentu ada harapan masyarakat dunia peran dari Cina dan Indonesia untuk ikut meredakan. Sebagai sesama negara OKI Indonesia tentu dapat memberikan masukan berharga kepada Iran. Hubungan baik Indonesia dengan Iran maupun AS diharapkan mampu menjembatani upaya mencairkan ketegangan dua negara.
Indonesia diyakini memiliki kemampuan untuk berperan aktif meredakan ketegangan dua negara itu agar tidak makin terjerumus perang besar. Menlu Retno Marsudi di tengah suasana gesekan negeri ini dengan Cina perlu pula mengambil langkah aktif berperan meredakan ketegangan.
Seluruh Kementerian di negeri ini selayaknya terus memonitor perkembangan ketegangan AS dengan Iran tanpa mengabaikan persoalan sedikit gesekan yang terjadi dengan Cina. Dipastikan ketegangan AS dan Iran sekecil apapun akan berdampak pada kondisi sosial-ekonomi dan situasi politik negeri ini. Kita memang harus terus berjaga-jaga.
*Ketua Banggar DPR RI