Oleh : Miqdad Husein
Jakarta banjir jelas bukan berita istimewa. Bukan luar biasa. Letak dan posisi Jakarta yang seperti cekungan menjadikan Jakarta seperti tujuan aliran air dari berbagai jurusan.
Jakarta tak hujan dan sedang kering kerontang pun bisa kebanjiran. Lho? Ya. Bisa kebanjiran karena air kiriman dari puncak, Bogor, Depok dan sekitarnya, bila daerah sekeliling Jakarta itu sedang hujan. Apalagi bila di Jakarta juga hujan. Sempurna sudah, Jakarta menjadi titik temu air.
Jadi, siapapun Gubernurnya jika tanpa penanganan total seperti dilakukan pemerintah Belanda, yang posisinya di bawah laut, banjir tak akan pernah angkat kaki dari Jakarta.
Kondisi Jakarta yang takdirnya terus banjir itu ironisnya sering jadi obyek politik. Pada setiap pemilihan Gubernur dan Wakilnya soal upaya mengatasi banjir selalu jadi jualan para kandidat. Celakanya, sampai detik ini tak ada solusi yang benar-benar efektif dan bisa sepenuhnya membuat Jakarta berobah nasib, tidak lagi banjir.
Pada masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama yang populer dipanggil Ahok banjir masih juga bertamu. Namun keseriusan penanganan membuat banjir tak terlalu lama. Air seperti sekedar numpang lewat lalu mengalir ke laut.
Sejauh ini walau di masa kepemimpinan Ahok persoalan banjir belum sepenuhnya teratasi namun jauh berkurang. Dan pada masa kepemimpinan Anies Baswedan sekarang ini, banjir Jakarta seperti kembali dalam watak aslinya: mendekam relatif lama sehingga menyisakan nestapa.
Tak aneh bila media, termasuk media sosial seperti mendapat pembenaran tentang anggapan yang berkembang bahwa Anies Baswedan, gagal memimpin Jakarta. Tingkat kecaman begitu kencang menyerbu Anies.
Data-data riil memang memperlihatkan kinerja Anies terpapar lambat. Tak meneruskan konsepsi normalisasi dari Ahok sementara konsepsinya sendiri natularalisasi tak pernah benar-benar dijalankan.
Masyarakat Indonesia khususnya yang berada di Jabodetabek tentu masih ingat ketika Anies menutup kali dengan kain untuk menghilangkan bau menyengat. Sebuah langkah yang bukan hanya memperlihatkan upaya tambal sulam tapi juga konyol. Bagaimana mungkin bau kali dapat teratasi dengan menutup kali menggunakan kain.
Kembali tentang soal banjir. Sebenarnya bukan hanya Jakarta yang terkena musibah banjir. Daerah lain seperti Jawa Barat dan Banten juga mendapat musibah serupa. Di Jawa Barat secara riil banjir juga dasyat. Demikian pula banjir bandang di Banten.
Kenapa serbuan kecaman sangat kencang ke arah Anies Baswedan? Jelas bukan karena Jakarta ibukota. Serbuan kepada Anies disamping karena kinerjanya juga ada faktor lain tentang penampilan dan retorika Anies.
Dalam kondisi musibah seperti sekarang ini sebenarnya semua kalangan perlu membuang jauh kepentingan politik. Semua energi harus diarahkan pada upaya mengatasi banjir.
Di tengah upaya itu wajar saja bila ada kecaman dan keluh kesah kepada pimpinan. Dari siapapun. Bukankah hal yang lazim. Para pemimpinpun selayaknya bersikap arif dan legawa serta terus bekerja. Tak perlu menanggapi suara apapun selain bekerja.
Mengapa tak ada kecaman pada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur Banten Wahidin Halim padahal dua daerah itu juga mengalami musibah sama dan juga belum sepenuhnya teratasi. Mengapa justru Anies Baswedan yang lebih banyak jadi sasaran bulan-bulanan? Sederhana. Anies Baswedan terlihat justru sibuk menanggapi berbagai kritikan dan bukannya legawa serta berusaha menarik simpati masyarakat untuk berupaya bersama membantu para korban banjir.
Semua komentar dan masukan direspon Anies dengan semangat perlawanan. Dari komentar masyarakat, Menteri Basuki bahkan Presidenpun direspon perlawanan dan bantahan. Lebih parah lagi berbagai retorika yang dilontarkan Anies terdengar konyol. Misalnya ketika menyebut banyak anak-anak bergembira bermain di luapan air. Seakan banjir memberikan hiburan kepada anak-anak.
Ketika Presiden Jokowi berkomentar soal kebiasaan masyarakat dalam membuang sampah yang menyumbang sebagai penyebab banjir dengan cepat direspon Anies bahwa di Bandara Halim yang tergenang air tak ada sampah. Anies lebih garang lagi menantang siapapun untuk berdebat soal banjir.
Mungkin karena gregetan, Presiden PKS Sohibul Iman, merasa perlu mengingatkan Anies. “Jadi seorang pemimpin itu hadir untuk dikritik ya. Begitu dia tidak mengerjakan sesuatu dengan baik, dikritik, itu wajar dan nggak boleh ada hard feeling atau baper, terima saja sebagai bahan introspeksi,” kata Sohibul Iman usai meninjau banjir di Cipinang Melayu, Jakarta Timur, Jumat (3/1/2020).
Sebuah pesan arif. Bahwa dalam situasi bencana seperti banjir pemimpin seharusnya tidak sibuk beretorika menjawab kritik apalagi menantang debat para pengeritiknya. Jauh lebih baik terus bekerja dan bekerja sambil menggalang kebersamaan untuk membantu para korban.
Masyarakat akan memberikan apresiasi kepada yang sungguh-sungguh bekerja sekalipun katakanlah belum berhasil optimal. Nawaitu dan itikad serta upaya kerja keras jauh lebih baik dalam merespon menghadapi apa dan siapapun.