Oleh: Miqdad Husein
Sebuah wacana keagamaan muncul dari Bandung tentang menyeragamkan materi khotbah Jumat. Sempat merebak tudingan sebagai proyek Kementrian Agama. Belakangan Mentri Agama Fachrul Razi membantah bahwa Kementrian Agama tidak pernah mengintruksikan penyeragaman materi khotbah Jumat.
Di Bandung Menteri Agama dalam satu kesempatan acara memang sempat bercerita tentang beberapa negara yang memberlakukan penyeragaman materi khotbah. Pemerintah di negara itu seperti dipaparkan Menteri Agama, menyiapkan materi untuk disampaikan para khotib di masjid-masjid. Rupanya ada masyarakat yang ‘Baper’ sehingga langsung merespon tanpa mencermati keseluruhan pernyataan.
Reaksi cepat masyarakat itu bisa dipahami karena belakangan memang berbagai pernyataan bernuansa hangat sering muncul dari Menteri Agama. Namun tentu saja, bereaksi tanpa mengkaji keseluruhan ‘persoalan’ bisa berkembang menjadi bola liar sehingga lari ke mana-mana.
Sejauh ini, tidak diketahui secara pasti apa dasar pemikiran Menteri Agama bercerita tentang mekanisme pelaksanaan khotbah Jumat di beberapa negara. Disinyalir pernyataan itu masih terkait persoalan radikalisme yang belakangan marak. Khotib di beberapa masjid dinilai pemerintah menyebar materi khotbah bernada panas.
Jika benar pernyataan itu bagian dari upaya memerangi radikalisme secara subtansi dapat dipahami. Bagaimanapun sulit diingkari bahwa berbagai ujaran bernada provokatif, yang bisa jadi kelanjutan dari aroma panas Pilpres 2019 masih terasa. Ditambah beberapa data tentang ratusan warga negara Indonesia yang terkait ISIS yang kini berada di Suriah, wajar persoalan radikalisme mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat, yang tak ingin negeri ini tercabik konflik.
Namun demikian wacana tentang penyeragaman materi khotib, jika ingin diterapkan sebagai alternatif memerangi dan mencegah radikalisme perlu dipertanyakan. Bukan menyangkut subtansi tujuannya tetapi pertimbangan efektivitas dan efisiensi.
Dari segi komunikasi politik gagasan itu dapat menimbulkan kesan kurang baik kepada pemerintah. Seakan pemerintah ingin semua diatur dan dikendalikan. Pemerintah akan terkesan membungkam perbedaan pendapat sehingga menimbulkan reaksi kurang sehat, yang dapat merugikan pemerintah sendiri.
Jika dikaji lebih jauh terkait teknis, penyeragaman itu diragukan efektivitasnya. Bukan hanya keengganan para khotib tetapi yang lebih jauh lagi dalam soal kemampuan menghadapi dinamika media sosial. Khotbah-khotbah itu akan kalah jauh dengan penyebaran informasi melalui media sosial.
Saat ini, jangankan khotbah di masjid-masjid, media mainstream saja mulai ketinggalan menghadapi penyebaran informasi melalui media sosial. Ditambah persepsi masyarakat yang begitu mudah percaya pada informasi yang tersebar melalui media sosial, materi dakwah dari para khotib akan jauh ketinggalan.
Diakui atau tidak saat ini dunia khususnya masyarakat Indonesia sedang terperangkap ketergantungan pada informasi dan komunikasi melelalui media sosial. Celakanya, ketergantungan itu kurang diikuti sikap kritis dan kesungguhan untuk mengecek setiap informasi yang beredar. Hoax dan fitnah begitu mudah dipercaya masyarakat sementara media mainstream praktis kurang diposisikan sebagai rujukan.
Peta selintas dinamika penyebaran informasi itu perlu dipertimbangkan dan dipikirkan pemerintah dalam menghadapi radikalisme, penyebaran hoax, fitnah dan ujaran kebencian. Jangan sampai perkembangan informasi melangkah bagai kecepatan pesawat sementara pemerintah masih menggunakan transportasi konvensional.
Pembinaan para khotib oleh lembaga keislaman seperti MUI, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan berbagai Ormas Islam lainnya perlu dilakukan. Namun, penting pula pemerintah dan masyarakat ikut serta memerangi penyebaran paham radikalisme memanfaatkan media sosial. Jika penyebaran paham radikalisme dilakukan melalui kecanggihan media sosial, seharusnya direspon dengan sarana lebih canggih atau setidaknya setara.
Pemerintah harus pula memperhatikan berbagai persoalan yang potensial dapat memicu munculnya radikalisme seperti kemiskinan, ketakadilan, ketimpangan sosial, saluran aspirasi yang tersumbat dan lainnya. Hampir selalu radikalisme muncul dipicu berbagai kekecewaan pada kondisi sosial.
Terlalu elementer di era media sosial sekarang ini, jika memerangi radikalisme melalui penyeragaman materi khotbah Jumat yang hanya seminggu sekali, sementara banjir informasi menjadi bagian kehidupan keseharian.
Perlu upaya bermodal kekuatan setara dan kalau perlu lebih kuat jika ingin memerangi berbagai konten bernuasa radikalisme. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.