Oleh : MH. Said Abdullah
Ada upaya menebar opini seakan kasus di Asuransi Jiwasraya merupakan kondisi krisis keuangan negeri ini. Tentu saja pemikiran itu mengada-ada. Baik secara normatif maupun perhitungan kuantitatif tak ada variabel yang menegaskan itu.
Merujuk Undang Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), krisis sistem keuangan adalah kondisi sistem Keuangan yang gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dan efisien, yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan.
Kasus gagal bayar polis sebesar Rp 12,4 triliun yang menjadi tanggungan Asuransi Jiwasraya belum menunjukkan arah sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU PPKSK. Lalu, jika dilihat dari jumlah aset Jiwasraya dalam postur industri asuransi di Indonesia belum terlalu signifikan.
Pada Oktober 2019 aset Jiwasraya hanya Rp 25,6 triliun, terus menyusut dari 2018 sebesar Rp. 33,3 triliun, dan 2017 sebesar 42 triliun. Saat aset makin menurun, liabilitas kian meningkat, 2017 sebesar 40 triliun, 2018 sebesar Rp 47 triliun dan 2019 meningkat menjadi Rp 49,6 triliun. Bandingkan dengan aset industri asuransi keseluruhan yang mencapai Rp 733 triliun per Oktober 2019. Bandingkan pula dengan aset bank umum sebesar Rp 8.344 triliun, dan kapitalisasi pasar modal Rp 7.162 triliun per Okrober 2019. Sangat jelas tergambar dari sisi normatif maupun kuantitatif masih jauh dari krisis keuangan.
Namun demikian dari kasus Jiwasraya, OJK dan pemerintah perlu melakukan pengetatan pengawasan terhadap model bisnis asuransi di Indonesia. Terlebih per Oktober 2019 terdapat penurunan aset yang signifikan pada industri asuransi Indonesia dari posisi September 2019 sebesar Rp 1.289 triliun turun drastis ke Rp 733 triliun, sementara liabilitas mencapai Rp 760,4 triliun.
Dari flukluasi itu diduga kasus yang terjadi di jiwasraya adalah moral hazard secara sistematis dan terorganisir. Jadi tidak sekadar salah investasi dana nasabah (pemegang polis).
Jangankan manajer investasi, mahasiswa barupun tahu kalau mengejar gain investasi pada saham berkinerja buruk akan sangat berisiko. Lantas kenapa hal itu tetap dilakukan dengan uang publik? Dari situ terlihat kemungkinan besar terjadi moral Hazard.
Gejala memburuknya salah investasi sejak 2014 terus dibiarkan sampai puncaknya tahun 2017. Hasil investasi terus menurun, antara return dan cost of fund terdapat spread minus empat tahun berturut turut sejak 2014, dan meledak hingga 2019 ini. Mengapa dibiarkan?
Agar kejadian itu tak terulang serta untuk memulihkan rasa kepercayaan para pemegang polis, Otoritas Jasa Keuangan dan Direksi serta Komisaris Jiwasraya harus berani terbuka dan jujur ada moral hazard di dalam tata kelola investasi dana mereka. Kepercayaan dalam bisnis menjadi modal awal yang sanget penting. Pernyataan terbuka itu harus dibarengi dengan kerjasama dengan aparat penegak hukum, mengajukan kasus ini ke meja hijau.
Pers diharap juga ikut mengawal proses peradilannya. Terhadap pemulihan bisnis dan pengembalian uang pemegang polis, Jiwasraya perusahaan bersama OJK dan pemerintah dapat melakukan beberapa langkah terpadu. Pertama, langkah pemerintah berencana membentuk holding asuransi patut diapresiasi. Langkah ini harus disertai road map perusahaan holding asuransi, agar langkah bisnisnya ke depan terencana, terkontrol dan mitigasi risiko bisnis sejak awal terlihat.
Kedua; sebelum Jiwasraya diintegrasikan dalam holding, perusahaan, pemerintah dan OJK harus melakukan restrukturisasi aset, dan liabilitas perusahaan, termasuk keluar dari jebakan bisnis berisiko seperti yang dikerjakan dalam empat tahun terakhir. Langkah ini untuk menghindari pembentukan holding asuransi hanya pelimpahan penyakit, tetapi sakitnya tidak sembuh, tetapi juga tidak mengabaikan kewajiban kepada pemegang polis.
Ketiga, terhadap seluruh pertanggungan pemegang polis, perlu membangun komunikasi sekaligus memberikan kepastian waktu pengembalian, dengan merujuk pada ketentuan di Peraturan OJK. Penjadualan ulang pembayaran terhadap pemegang polis tetapi dengan kepastian waktu. Langkah ini bisa dimaklumi pemegang polis, daripada nasib uang mereka digantung tanpa kepastian.
Sumber pembiayaan pengembalian ini dapat dilakukan dari pinjaman subordinasi dari perusahaan holding asuransi atau reasuransi.
Keempat, setelah menjalani berbagai program pemulihan, perusahaan dapat mengundang investor dengan peningkatan premi, hal ini untuk meningkatkan ekuitas perusahaan. Jangan lupa, pengelola tidak mengulangi lagi berbagai kesalahan investasi, akan tetapi produk-produk asuransinya tetap kompetitif dengan perusahaan asuransi lainnya.
Terakhir, jika pemerintah dan DPR sepakat membuat kebijakan Penyertaan Modal Negara (PMN) pada tahun 2021, PMN dapat diajukan terhadap perusahaan holding asuransi, tidak terhadap Jiwasraya. Dengan kapitalisasi yang besar pada holding asuransi, dapat membantu likuiditas berbagai perusahaan anak seperti Jiwasraya melalui berbagai skema, seperti pinjaman. Dalam jangka panjang perusahaan sudah harus memiliki strategic partnership dengan melibatkan lembaga asuransi yang memiliki reputasi internasional, untuk membantu Jiwasraya bisa tumbuh dan berkembang lebih baik. Masuknya mitra asuransi internasional, tentu akan mengembalikan kepercayaan publik kepada Asuransi Jiwasraya, sehingga akan bisa membantu pemulihan Asuransi Jiwasraya lebih capat.
Asuransi Jiwasraya adalah aset nasional yang layak untuk dipertahankan keberadaanya, dengan 5,5 juta pemegang polis yang dimilikinya. Asuransi jiwasraya telah menjadi lokomotif perkembangan industri asuransi nasional. Permasalahan gagal bayar polis yang terjadi saat ini adalah pelajaran berharga bagi industri asuransi nasional.
OJK harus menjadikan kejadian ini sebagai evaluasi lemahnya kinerja pengawasan mereka. Kejadian ini juga harus jadi refleksi bagi pemerintah bahwa penempatan sejumlah komisaris di perusahaan-perusahaan BUMN harus benar-benar menunjukkan kompetensi dan kinerjanya baik. Sebab mitigasi risiko investasi paling baik adalah dari sistem internal perusahaan sendiri, dan itu bisa optimal dengan komisaris yang bekerja optimal.