Demonstrasi yang dilakukan ulama bersama dengan para santri dan warga Pamekasan di depan kantor DPRD Pamekasan dan kantor Bupati Pamekasan, yang membawa aspirasi penutupan tempat hiburan Kota Cinema Mall (KCM) yang sudah beroperasi sejak tanggal 13 Februari 2020 kemarin, disikapi dengan berbagai interpretasi. Sebagai sebuah fakta, demonstrasi tersebut memang layak untuk diperbincangkan. Telepas apakah dalam demonstrasi tersebut ditunggangi kelompok tertentu atau tidak, yang jelas demonstrasi tersebut merupakan dinamika politik yang terjadi di Kabupaten Pamekasan saat ini.
Sebagai negara demokratis, demontrasi bukanlah sebuah hal yang menakutkan dan tak perlu ditakuti. Menyampaikan pendapat di muka umum secara bebas, dijamin dan dilindungi udang-undang. Selama demokrasi masih menjadi pilihan sistem politik, kita bisa saja ikut turun jalan bersuara lantang, atau kita sudah pernah melakukannya.
Demonstrasi, menjadi salah satu tolok ukur bahwa demokrasi itu sehat. Dalam artian, di dalam demokrasi, fungsi kontrol berjalan. Fungsi kontrol, di dalam sistem demokrasi dijalankan oleh lembaga negara bernama dewan perwakilan rakyat. Lembaga ini sebagai penjamin bahwa suara rakyat yang dititipkan kepada wakilnya di parlemen, bisa disalurkan kepada pemerintah dengan baik.
Di dalam lembaga perwakilan rakyat, sudah lumrah jika terbelah kepada dua kelompok politik yakni kelompok koalisi (status quo) dan kelompok oposisi. Kelompok koalisi merupakan anggota dewan dari partai politik pengusung penguasa. Sedangkan kelompok oposisi, merupakan gabungan partai politik yang berlawanan dengan politik penguasa.
Dalam kenyatannya, kelompok oposisi terkadang terjerat kepada dilema. Dilema itu berupa sikap kritis atau opurtunis. Sikap kritis oposisi menilai, segala produk kebijakan pemerintah, tidak lahir karena semata-mata untuk kepentingan rakyat. Namun untuk kepentingan kelompoknya. Sebab, sebelum pemerintahan dibangun, kelompok koalisi sudah sejak awal terikat dengan perjanjian dan kesepakatan untuk berbagi kekuasaan. Sedangkan kelompok opurtunis, cenderung negosiatif. Prinsip yang dibangun kelompok ini, dalam politik tidak ada lawan abadi yang ada hanyalah kepentingan.
Demonstrasi yang terjadi pada hari Jumat tanggal 14 Februari kemarin, tidak termasuk dalam dua kelompok tersebut. Sebab, mereka adalah kelompok masyarakat yang menilai bahwa wakil mereka di parlemen, sudah gagal mewujdukan manifesto politik mereka. Sehingga, mereka memilih turun ke jalan sebagai kelompok civil society yang ingin memperjuangkan tegaknya demokrasi. Meskipun, geneologi politik mereka pada saat Pilkada Pamekasan tahun 2018 kemarin, merupakan kelompok pendukung pemerintah saat ini.
Sebagai bagian dari civil society, mereka memiliki hak untuk mengontrol pemerintah dengan cara pandang mereka sendiri. Pemerintah saat ini, dianggap sudah melenceng dari cita-cita politik mereka. Sehingga, satu-satunya ruang publik untuk menyampaikan pesan politik yang bisa dimanfaatkan oleh mereka, adalah turun jalan. Ruang komunikasi yang lain, sudah tidak bisa diharapkan lagi.
Sebetulnya, jika pemerintah sadar dan belajar kepada pengalaman politik lokal di Pamekasan, posisi ulama bukan hanya sebagai objek politik yang dibutuhkan sebagai vote getter ketika Pemilu ataupun Pilkada. Namun mereka juga sebagai subjek politik yang terlibat aktif dalam merumuskan kebijakan pemerintah. Sehingga, dalam dua dekade terakhir, pemerintah Kabupaten Pamekasan selalu membuka ruang komunikasi dengan para ulama di dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tertutupnya ruang komunikasi politik ulama ini, menurut saya sekaligus menjadi kegagalan politik pemerintah saat ini. Padahal, Bupati sering menyampaikan statemen bahwa jangan ada lagi demonstrasi di bumi Gerbang Salam karena hal itu akan merugikan rakyat sendiri. Jika ada aspirasi, pintu komunikasi selalu terbuka.
Oleh sebab itu, pemerintah Kabupaten Pamekasan jangan ‘alergi’ kepada demonstrasi. Kepada kelompok koalisi, baik koalisi parlemen maupun koalisi rakyat (pendukung) seharusnya membuka ruang komunikasi yang baik dengan ulama. Yang terjadi saat ini, justru semakin memperkeruh situasi dengan membangun narasi-narasi politik yang menyudutkan ulama dan santri atas nama etika. Padahal, etika politik hanya ada dalam teori yang tak pernah usai menjadi kajian akademik.
Etika politik sebagai dasar dan patokan dalam menjalankan proses politik, banyak dilanggar. Kita coba menoleh ke belakang sejenak untuk bercermin, bagaimana proses politik yang terjadi di Pilkada 2018 kemarin. Dengan menggunakan berbagai kekuatan media, bagaimana norma yang didasarkan kepada harkat dan martabat manusia, dinjak-injak untuk merebut kekuasaan. Sehingga, jangan salahkan ketika kekuasaan yang dibangun tanpa kekuatan etika, akan memangsa kekuasaan itu sendiri. (*)
*Pemerhati sosial politik Madura.