Oleh: MH. Said Abdullah*
“Musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan.” Demikian penggalan pernyataan Kepala Badan Pembinaan Idiologi Pancasi (BPIP Prof. Dr. Yudian Wahyudi dalam kesempatan wawancara dengan media online detik.com.
Pernyataan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga itu, jika hanya dibaca penggalan tanpa seluruh wawancaranya memang penuh kontroversi. Namun bila ditelusuri lebih jauh penggalan itu agaknya lebih merupakan pilihan kalimat dari redaktur untuk menarik perhatian dan minat pembaca.
Konteks pernyataan beliau sepenuhnya lebih ditujukan kepada segelintir kelompok masyarakat yang menafsirkan agama dalam kaitan kehidupan berbangsa dan bernegara bertitik tolak kepentingan politik. Agama di sini sekedar dijadikan baju atau pembungkus kepentingan politik. Karena itu tidak mengherankan jika kemudian penafsiran agama mudah mewujud sebagai perlawanan terhadap Pancasila.
Pernyataan Yudian sebenarnya bukan hal luar biasa dan bahkan sangat kontekstual untuk era kekinian terutama bila dikaitkan persoalan yang kini menjadi perdebatan publik yaitu kepulangan eks warga negara Indonesia, yang menjadi pasukan ISIS. Sejatinya partisipasi segelintir warga negara itu dalam ideologi dan pasukan ISIS merupakan ekspresi keagamaan yang memposisikan melawan Pancasila.
Eks warga negara Indonesia yang menjadi bagian dari ISIS itu dalam berbagai tayangan video sangat eksplisit menganggap pemerintah Indonesia thogut. Mereka menyebut Pancasila sebagai ideologi yang harus dihancurkan.
Keterikatan keagamaan para pasukan dan simpatisan ISIS itulah yang secara riil merupakan kekuatan melawan Pancasila. Demikian pula Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dilarang pemerintah dan mengusung ideologi khilafah sangat jelas melawan Pancasila.
Berbagai kajian dan data faktual yang ditulis Mohammad Nuruzzaman, seorang intelektual kader Nahdatul Ulama, memang harus diakui bahwa kekuatan politik yang sangat gencar melawan Pancasila saat ini bertitik tolak dari pemahaman keagamaan sempit. Jamaah Asharut Daulah (JAD) yang merupakan jaringan ISIS di Indonesia salah satu contohnya. Kelompok lainnya seperti Mujahidin Indonesia TImur (MIT) dan Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Jamaah Islamiyah (JI) atau Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir sangat menantang Pancasila dan NKRI. Termasuk pula Al Muhajirun yang diduga terafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia.
Jadi, jika Yudian Wahyudi mengatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama merupakan realitas empirik dan tak terbantahkan. Namun, mereka yang melawan Pancasila merupakan bagian kecil dari pemeluk agama di negeri ini. Mereka tak lebih dari segelintir masyarakat yang memahami agama secara sempit.
Kekuataan keagamaan terbesar di negeri ini yaitu Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Ormas Islam yang terdaftar secara formal yang merupakan kekuatan mayoritas mutlak di negeri ini secara obyektif tidak lagi mempersoalkan Pancasila. Kekuatan keagamaan mayoritas di negeri mengakui bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seluruhnya merupakan bagian dari ajaran agama. Jadi, tidak ada lagi persoalan relasi antara agama dan Pancasila.
Namun demikian selesainya persoalan hubungan agama dan Pancasila di kalangan mayoritas penduduk di negeri ini tidak berarti gangguan terhadap ideologi Pancasila tak ada lagi. Potensi gangguan selalu ada seperti ditegaskan Yudian Wahyudi ketika agama tereduksi kepentingan politik sempit.
Agama di sini dieksploitasi unsur emosi keterikatan pemeluknya untuk dihadapkan sebagai kekuatan perlawanan terhadap Pancasila. Atau, setidaknya dijadikan sebagai kekuatan destruktif untuk merusak tatanan dan bangunan demokrasi Pancasila.
Ketaksabaran menghadapi proses pembangunan yang belum optimal mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat sering pula dijadikan pemantik membenturkan agama dan Pancasila. Pemahaman keagamaan yang sebatas artifisial dan dangkal serta kecenderungan masih simbolik, juga sering menjadi bagian menimbulkan ketegangan ideologis dalam wujud benturan agama dan Pancasila.
Karena itu terasa urgensinya upaya pemahaman integral dan kedalaman makna beragama serta ikhtiar sungguh-sungguh dari pemerintah mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam seluruh kehidupan sehingga ruang-ruang potensi konflik dapat diminimalkan. Kedangkalan pemahaman keagamaan dan ketakpuasan menyaksikan perwujudan nilai-nilai Pancasila yang tercermin misalnya dalam bentuk ketimpangan sosial, problem ketakadilan, keterbelakangan, perlu diwaspadai karena mudah dimanipulasi menjadi amunisi konflik di negeri ini.
Selalu diperlukan dan diupayakan kerja keras terus menerus menyegarkan relasi indah agama dan Pancasila agar terjaga kedamaian di negeri ini sebagai modal utama mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
*Ketua Banggar DPR RI