Oleh: MH. Said Abdullah*
Di tengah kesibukan masyarakat dunia menghadapi virus Corona, akhir Januari lalu, tepatnya tanggal 27-28 Januari, berlangsung Konferensi Internasional Al-Azhar, di Kairo. Konferensi yang dihadiri ulama dan tokoh Islam dari hampir seluruh dunia itu, termasuk dari Indonesia, merupakan moment sangat bernilai bagi dunia Islam dan penting untuk kedamaian dunia.
Konferensi menelorkan 29 rumusan dibacakan oleh pimpinan tertinggi Al-Azhar Grand Syeikh Prof. Dr. Ahmed Thayyib secara jelas dan tegas memberikan pencerahan pemikiran bagi ummat Islam di seluruh dunia. Melalui keputusan Konferensi Al-Azhar, ummat Islam diharapkan mampu menyikapi gejolak dan dinamika internal ummat Islam serta berperan aktif dalam menyelesaikan problema dunia modern.
Tujuan dan titik berangkat konferensi Al-Azhar secara subtantif memang menegaskan tentang keniscayaan pembaruan permasalahan agama, keharusan meniti jalan syariat untuk mengimbangi hal-hal baru dan demi mewujudkan kepentingan masyarakat umum dalam berbagai bidang. Karena itu, seluruh keputusan bersemangat pembaruan pemikiran dalam merespon perkembangan dunia yang berlangsung sangat cepat.
Beberapa point penting berhubungan langsung dengan dinamika keislaman ummat Islam Indonesia khususnya langkah kekinian pemerintah dalam memerangi radikalisme yang tercermin antara lain pada rumusan pertama sampai keempat.
Pada rumusan pertama menegaskan tentang karakter dan watak dasar agama Islam. Disebutkan bahwa pembaruan merupakan salah satu unsur yang melekat pada syariat Islam, tidak bisa dipisahkan dan bertujuan untuk merespons hal-hal baru dari waktu ke waktu dan mewujudkan maslahat umum masyarakat.
Rumusan awal itu menegaskan pesan penting bahwa pembaruan pemikiran merupakan keharusan. Bukan hanya merupakan watak dan karakter ajaran Islam saja tetapi juga nilai penting kebutuhan kesiapan ummat Islam dalam merespon perkembangan dunia. Adalah mustahil ummat Islam dapat merespon perkembangan dunia jika hanya berbekal atas dasar pemahaman ajaran Islam secara tekstual berlatar kondisi 14 abad lalu. Tetap berpijak konsepsi dan teks baku memang menjadi keharusan namun terasa urgensinya memahaminya atas dasar kondisi kontekstual melalui pembaruan pemikiran.
“Teks-teks keagamaan yang bersifat pasti ketetapannya (qath‘iyyu ats-tsubuut) dan pasti secara makna (qath‘iyyu ad-dalaalah) tidak bisa dijadikan objek pembaruan dalam keadaan apa pun, sedangkan teks-teks keagamaan yang maknanya bersifat dhanniy (mengandung dugaan kuat) maka itulah yang menjadi wadah ijtihad. Fatwa tentang itu dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu, tempat, dan adat kebiasaan masyarakat, dengan syarat pembaruan yang dilakukan sejalan dengan prinsip dan kaidah umum syariat, serta kepentingan umum,” tegas rumusan kedua Konferensi.
Rumusan pertama dan kedua itu mencerminkan keseimbangan antara urgensi pembaruan namun tetap dengan pijakan atau pedoman areal yang memang memberi ruang interpretasi ajaran Islam demi kepentingan menjawab kebutuhan kondisi kekinian. Rumusan itu juga bersemangat merespon kejumudan dan manipulasi pemikiran yang belakangan ini merebak mewujud dalam pengerasan kelompok. Sebuah situasi yang secara serius kini mendapat perhatian organisasi Islam Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah serta Ormas Islam lainnya.
Konferensi secara tegas dalam rumusan keempat mengingatkan bahwa aliran-aliran ekstrem dan kelompok-kelompok teroris pro kekerasan, semuanya bersepakat menolak pembaruan. “Propaganda mereka berdiri di atas pemalsuan pemahaman dan manipulasi istilah-istilah agama seperti konsep mereka mengenai sistem pemerintahan, al-haakimiyyah (Allah sebagai sumber hukum), hijrah, jihad, perang, dan sikap terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan mereka,” tegas Grand Syeikh Prof. Dr. Ahmed Thayyib.
Lebih jauh diingatkan bahwa dalam realitas sosial sekarang ini, mereka para penganut aliran ekstrim dan teroris, banyak melanggar prinsip-prinsip agama dalam bentuk pelanggaran terhadap jiwa, harta, dan kehormatan. Akibatnya, wajah Islam pun tercoreng di mata orang-orang Barat dan orang-orang Timur. Tak jarang akibat manipulasi nilai keagamaan banyak pihak menghubung-hubungkan kelakuan mereka yang menyimpang itu dengan ketentuan hukum syariat Islam, sehingga merebak apa yang disebut dengan Islamophobia di Barat.
Konferensi secara terbuka menegaskan bahwa lembaga dan masyarakat wajib mendukung negara untuk menumpas bahaya kelompok-kelompok itu. Langkah-langkah pemerintah di manapun perlu didukung dalam pemberantasan aliran ekstrim dan terorisme.
Rumusan Konferensi pada point pertama sampai keempat itu, memiliki persambungan subtansi dengan langkah-langkah pemerintah pimpinan Presiden Jokowi belakangan ini dalam memerangi paham radikalisme. Melalui pesan strategis Konferensi Al Azhar masyarakat khususnya ummat Islam, diharapkan dapat memahami dan menyadari bahwa perlawanan terhadap radikalisme dalam bentuk aliran ekstrim dan terorisme menjadi kometmen dan kebijakan seluruh negara Islam dan yang mayaroitas penduduknya beragama Islam serta seluruh negara di dunia, yang cinta damai.
Langkah-langkah itu, seperti dilakukan pemerintah Indonesia bukanlah merupakan kebijakan Islamphobia. Yang menjadi perhatian adalah tindakan radikal dari segelintir aliran ekstrim dan teroris, bukan terhadap ummat Islam secara keseluruhan. Justru dengan tindakan pemerintah memerangi aliran ekstrim dan teroris akan memberikan dampak positif terwujudnya Islam rahmatan alamin sehingga mengurangi persepsi dan salah kaprah terhadap ajaran Islam.
Pesan Konferensi Al Azhar itu dapat menambah suntikan energi dan keyakinan kepada pemerintah serta seluruh rakyat negeri ini untuk terus tanpa lelah mengatasi radikalisme, ekstriminitas dan terorisme. Ketiganya -telah menjadi kesepakatan masyarakat dunia- merupakan ancaman besar terwujudnya kedamaian. [*]
*Ketua Banggar DPR RI