Oleh: Miqdad Husein (*)
Di tengah kekhawatiran penyebaran virus Corona, merebak berbagai pernyataan kait mengkait antara agama dan kesehatan. Sebuah realitas yang seakan merepresentasikan keterikatan keagamaan masyarakat negeri ini.
Terkesan indah seakan menggambarkan betapa religiusnya masyarakat. Namun jika dicermati lebih dalam tergambar pula betapa ironisnya respon masyarakat dalam menghadapi musibah Corona. Agama di sini benar-benar hanya menjadi alat pelampiasan kepentingan.
Agama yang seharusnya mampu membangkitkan kedamaian, ketenangan justru menjadi amunisi nyinyir. Kata hukuman, azab bertebaran diarahkan kepada yang berbeda agama. Kata ujian, cobaan dan musibah ditujukan kepada orang-orang seagama.
Ustad Abdul Somad bahkan tanpa ragu menyebut Corona sebagai tentara Allah walau belakangan diklarifikasi. Di tengah masyarakat melalui media sosial, beredar pula penegasan bahwa Cina mendapat hukuman karena perlakuan ‘dzalim’ terhadap muslim Uighur.
Dua warna kata itu memperlihatkan adanya bentangan jarak. Perbedaan keyakinan diposisikan benar dan salah mengatasmakan Tuhan. Tuhan menjadi stempel apa dan bagaimana sebenarnya virus Corona itu. Sebuah klaim merasa paling benar akhirnya menjadi senjata memvonis posisi manusia.
Bukan solidaritas kemanusiaan yang menjadi substansi ajaran agama yang dikedepankan di tengah kepanikan menghadapi Corona. Ajaran agama justru dimanapulasi untuk kepentingan politik, sinisme, kebencian memanfaatkan wabah Corona.
Tetapi virus Corona bukanlah makhluk yang bisa diperintah harus ke sana perlu ke sini. Corona bergerak tanpa ritme dan tujuan yang dikendalikan. Disinilah manusia yang sering menjadikan agama alat kepentingan mulai diingatkan. Corona yang awalnya muncul di Cina, yang dianggap tak mengenal Tuhan bergerak massif hingga ke hampir seluruh negara di dunia. Negara yang masyarakatnya beragama dan beridiologi apapun terimbas. Penyebaran Corona bergerak liar melintasi batas perbedaan agama, ideologi, budaya dan apapun dilabraknya.
Kini tak jelas lagi siapa yang sebenarnya dihukum dan diuji Tuhan. Mereka yang sebelumnya diteriaki dan bahkan dihujat menjadi sasaran hukuman Tuhan justru membantu menyelamatkan mereka yang teriak main tuduh.
China, tempat pertama kali terdeteksi virus Corona dan sempat menginfeksi lebih dari 70 ribu penduduknya mampu bangkit. Bukan hanya dari wabah Corona. Cina juga berhasil keluar dari cibiran, sinisme bernuansa rasis penuh kebencian dari berbagai negara dan etnis lainnya. Dan dengan jiwa besar China kini justru membantu mengirim tenaga medis yang telah pengalaman ke negara yang kelabakan menghadapi virus Corona.
Benar-benar sebuah pembelajaran agar keyakinan agama seharusnya tidak menjadi alat menghukum yang berbeda keyakinan. Tidak menyalahgunakan nama Tuhan untuk ekspresi kebencian.
Musibah apapun, yang dihadapi siapapun, seharusnya membangkitkan solidaritas kemanusiaan. Menggerakkan semangat kebersamaan untuk saling membantu tanpa memandang agama, ideologi, budaya dan identitas sosial lainnya. Kata Ali bin Abi Thalib, mereka yang berbeda agama, bersaudara dalam kemanusiaan. Demikianlah seharusnya sebagai sesama penduduk bumi. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.