SUMENEP, koranmadura.com – Ada pemandangan yang tidak biasa sejak perjalanan dari bandara juanda Surabaya menuju Bandara Trunojoyo Sumenep, Jumat, 13 Maret 2020. Dua kandidat calon bupati Sumenep, masing-masing Achmad Fauzi dan Fattah Jasin menaiki pesawat yang sama, Wings Air dengan nopenerbangan IW 1808.
Kedua pejabat, Wakil Bupati Sumenep Achmad Fauzi (Ketua DPC PDI Perjuangan Sumenep) dan Fattah Jasin Kepala Bakorwil IV Pamekasan, duduk di deret kursi yang sama, no 18. Dua orang ini kemudian asyik ngobrol, tertawa dan berselfie ria. Dari sisi dahiriyah, kedua orang ini terlihat sumringah. Tetapi situasi batinnya, tak ada yang tahu, kecuali mereka berdua, dan tentu Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Tahu.
Baik Fauzi maupun Fatah, memiliki hak untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai calon bupati, sesuai amanat undang-undang di republik ini. Fauzi, turun ke sejumlah titik dengan mengibarkan tageline, Bismillah Melayani. Sedangkan Fatah, mengipaskan slogan Sumenep Barokah. Dua narasi itu sama-sama baik dan sebagai semboyan memang selalu bagus. Tetapi di akhir riwayat, baik Fauzi maupun Fattah, memiliki penggemarnya masing-masing, yang pada gilirannya akan menentukan kemenangan dan ketenangan sendiri-sendiri, yang pasti tidak sama rasanya.
Memang, Pemilukada masih akan berlangsung tanggal 23 September 2020 mendatang. Meski Fauzi dan Fattah menyemburkan kemesraan saat ini, tetapi dalam politik senantiasa memunculkan kecemberutan tersendiri di akhir penentuan. Tebaran senyum yang dipanggungkan Fauzi dan Fattah dalam derap politik, bisa diadaptasi oleh penggemarnya di lapis bawah untuk ditasbihkan dalam lelaku religiusitas politik hari-hari.
Namun biasanya, di grass root selalu berbeda. Ada manis, ada juga sinis yang berdiri di tapak kakinya masing-masing. Sebab politik sebagai cara, boleh jadi senyumnya sama, tetapi senangnya, bisa berbeda sama sekali. Mereka berdua dalam deret kursi yang sama, dalam rekah senyum yang tak berbeda, ingin mengkursus publik untuk bajik politik.
Saat turun dari pesawat, baik Fauzi dan Fattah berjalan bersama di bawah payung yang berbeda warna. Fauzi berlindung di bawah payung yang didominasi warna hijau, sedangkan Fatah bernaung di bawah payung berwarna ungu. Dari sisi psikologi warna, hijau memiliki arti tersendiri begitu juga warna ungu memiliki makna tersendiri. Bagi yang menyukai warna hijau, Fauzi boleh jadi menjadi bagian dari hijau warna. Begitu pula bagi yang suka warna ungu, Fattah menjadi serpihan ungu yang dalam bahasa lain disebut dengan unyu-unyu.
Fauzi yang berjalan bersaf di sisi Fatah, mengenakan bawahan celana warna gelap, dipadu jaket hitam dan hem yang didominasi warna merah. Dia ingin melambangkan dirinya sebagai pucuk pimpinan partai yang dipimpinnya yang berdesscode merah dan hitam yang bernaung di bawah warna hijau payung saat gerimis turun. Sedangkan Fattah, mengenakan bawahan warna gelap dipadu hem warna kotak-kotak didominasi warna coklat sambil menggendong tas warna coklat juga dengan kacamata hitam. Keduanya sama-sama menebar senyum, untuk apa, untuk siapa, dengan tujuan apa, adakah yang bisa menafsir?
Saat di parkiran sesaat sebelum menaiki mobil jemputannya, kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, Fattah mengatakan bahwa dirinya santai dan harmonis dengan Fauzi. “Saya biasa-biasa saja, akur dan akrab (dengan Achmad Fauzi),” katanya.
Begitu juga Achmad Fauzi menjelaskan bahwa ikhtiar politik yang dijalankannya untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai kandidat calon bupati Sumenep sebagai bagian dari usaha untuk naik kelas, dari wakil bupati ke bupati. “Saya juga sering bertemu dan akrab (dengan Fattah Jasin),” ujarnya.
Jika dua kandidat tersebut berjalan bersama (meski tidak saling berangkulan) bisa diciptakan, betapa indahnya politik santun bila menyublim dalam bijak publik. Tetapi di dalam ring, petinju bersekutu pada awalnya lalu berseteru, dan kembali berangkulan pada akhirnya dengan lebam dan babak belur di wajahnya masing-masing. Kemudian, wasit menentukan satu pemenang dan para petinju yang kalah maun maupun menang saling bersalaman.
Bagi Fauzi maupun Fattah, jika menginginkan perdamaian, maka munculkanlah pribahasa Latin, si vis pacem, para bellum (jika engkau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang). Ide perdamaian ini ditemukan dalam undang-undang VIII Plato 347 SM dan Epamenondas 5 Cornelius Nepos. Hal yang sama didapat dari perkataan Flavius Vegetius Renatus sekitar tahun 400 SM di dalam kata pengantar De re militari : Qui desiderat pacem, bellum pra eparat (siapa menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk perang). Kalimat inversif Flavius tadi memberi semangat bagi Ahmad Fauzi dan Fattah Jasin untuk terus tersenyum dan berdamai dengan cara bersiap untuk berperang (tanpa kejahatan). Jika dalam perang memiliki musuh, ingatlah kata John F Kennedy, maafkanlah musuh-musuhmu, tetapi jangan pernah lupakan nama-namanya. (DAN/ROS/DIK)