Oleh: Miqdad Husein*
Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke VII baru saja usai. Berlangsung di Pangkal Pinang Bangka Belitung, Konggres merekomendasikan 9 poin keputusan.
Dari 9 poin rekomendasi itu terlihat porsi lebih besar bernuansa politik dibanding menyikapi persoalan kepentingan internal umat Islam. Jika dikaji lebih dalam ada aroma reaktif terhadap berbagai dinamika wacana kehidupan sosial politik nasional belakangan ini dan bukan konsepsi integral tentang bagaiamana masa depan umat Islam menyongsong era milenial.
Yang perlu mendapat perhatian KUII terkesan mengabaikan dua hal penting terkait persoalan internal umat Islam. Pertama soal radikalisme keterikatan keagamaan yang hanya selintas disentuh dengan penegasan perlunya dorongan kehidupan keagamaan moderat. KUII tidak secara tegas memaparkan persoalan radikalisme.
Sekalipun persoalan radikalisme meliputi semua agama, untuk masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, rasanya terasa kurang jika even sekelas KUII sama sekali tidak menyentuhnya dan tak mencantumkan dalam rekomendasi. Respon ataupun reaksi, baik meluruskan maupun memberikan pencerahan sangat terasa urgensinya.
Soal radikalisme misalnya, perlu ditegaskan bukan merupakan watak keterikatan keagamaan masyarakat Indonesia. Radikalisme sejatinya tak lebih merupakan ekspresi keterikatan keagamaan segelintir orang di negeri ini.
Masyarakat muslim Indonesia perlu mendapat pencerahan lebih tegas bahwa radikalisme yang bermuatan kepentingan politik sempit jika dibiarkan meluas dapat merusak kedamaian negeri ini yang pada ujungnya akan merugikan keseluruhan kepentingan umat Islam Indonesia.
Penegasan itu penting bahwa radikalisme faktual saat ini sedang merebak. Berbagai perilaku yang meneriakkan ujaran kebencian dan anarkisme dalam even politik di Indonesia tak dapat dipungkiri merupakan bukti riil potensi radikalisme keagamaan ada di negeri ini.
Organisasi NU dan Muhammadiyah selama ini telah aktif mengkampanyekan upaya menghindari radikalisme agama. NU dengan Islam Nusantara, Muhammadiyah melalui kampanye Islam berkemajuan. Muhammadiyah dalam Muktamar di Makassar, lima tahun lalu dalam putusan pada poin dua secara eksplisit mengingatkan tentang merebaknya pengerasan sikap kelompok. Sebuah sikap keagamaan yang dapat menjadi embrio radikalisme.
Kekerasan keagamaan di India terhadap umat Islam pun, beberapa hari belakangan ini dapat menjadi pembelajaran bahaya ekspresi radikalisme keterikatan keagamaan. Tragedi yang menimpa umat Islam dapat menjadi perbandingan riil tentang bahaya radikalisme. KUII harusnya mengecam tindakan kekerasan di India dan menjadikan pelajaran bagaimana mengembangkan keterikatan keagamaan khas Indonesia.
Hal kedua yang kurang mendapat perhatian serius masalah Narkoba. KUII seharusnya secara tegas menuntut pemerintah
mempercepat proses hukum dan eksekusi mati para bandar Narkoba. Apalagi data dan fakta memperlihatkan eskalasi massif penyebaran narkoba serta tingginya korban akibat narkoba telah mencapai angka sekitar 5,9 juta.
Jelas Narkoba merupakan bahaya mengancam sangat luar biasa yang telah terpampang di depan mata. Generasi muda umatlah yang paling menjadi sasaran barang laknat itu. Sangat ironis soal besar ini tidak menjadi poin rekomendasi KUII VII.
Even besar KUII VII terasa kurang optimal mengakomodir dan memberikan solusi berbagai persoalan mendesak umat Islam Indonesia. Padahal inilah momen strategis pertemuan yang relatif representatif mewakili seluruh potensi umat Islam negeri ini. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.