Oleh: Miqdad Husein
Di masa lalu, zaman baheula, dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia di depan setiap rumah selalu ada gentong berisi air disertai gayungnya. Penyediaan itu diperuntukkan untuk masyarakat sedang dalam perjalanan yang mengalami kehausan. Tanpa perlu izin –karena memang sudah disediakan- siapapun yang kehausan dapat langsung menikmati air dalam gentong.
Budaya bersemangat kepedulian, empati, perhatian kepada orang-orang yang seringkali sama sekali tak dikenal itu melekat kuat pada masyarakat Indonesia. Hampir di seluruh daerah ditemukan budaya menyediakan air, yang menegaskan betapa sikap saling tolong menolong, saling peduli melekat kuat. Pergeseran waktulah yang kemudian pelan-pelan secara riil budaya indah itu mulai kurang terlihat. Namun sejatinya ruh budaya masih melekat pada sanubari masyarakat. Tak percaya?
Lihat belakangan ketika wabah Covid-19 melanda negeri ini. Budaya meletakkan ‘gentong’ di depan rumah seakan mengalami reinkarnasi. Muncul dalam bentuk berbeda secara fisik namun subtansi dan kepentingan sama: saling peduli, saling berempati, saling gotong royong.
Memang bukan gentong lagi. Ada yang berbentuk ember, galon, kaleng besar dan jenis wadah lainnya. Isinya tetap air walau kegunaan memang bukan untuk diminum seperti di masa lalu. Tujuan riilnya kini untuk memberi kesempatan sekaligus mengingatkan masyarakat yang hilir mudik untuk mencuci tangan. Kini, sejalan kebutuhan bahkan bukan hanya air yang disiapkan. Ada hand sanitizer, sabun.
Teknis aplikatif sudah bisa diduga tujuannya yaitu sebagai bagian dari upaya memerangi penyebaran virus Covid-19. Masyarakat seperti terpanggil dan tergerak membangkitkan kepedulian dan sekaligus saling membantu dalam memerangi Covid-19. Seperti gentong, yang tak perlu izin tuan rumah, berbagai tempat air dan cuci tangan itu bebas dipergunakan siapapun yang lewat dan merasa membutuhkan serta berkepentingan ikut serta memutus rantai penyebaran Covid-19.
Apakah ini merupakan gerakan terkoordinir dan perintah dari aparat berwenang? Apakah menyediakan berbagai kebutuhan cuci tangan dan hand sanitiser di depan rumah merupakan poin kebijakan pemerintah? Jelas tak akan ditemukan point meletakkan berbagai perangkat sederhana itu di depan rumah. Kalau himbauan pada masjid, gereja, kuil, pure, memang ada. Termasuk pula gedung-gedung perkantoran, mall, mini market dan tempat formal lainnya. Untuk di rumah sepenuhnya merupakan inisiatif masyarakat sendiri.
Luar biasa bukan? Inilah kekuatan gotong royong masyarakat negeri ini, yang sudah melekat kuat dari sejak nenek moyang ‘kita’ di masa lalu. Format dan bentuk boleh beda sesuai konteks kebutuhan kekinian namun subtansi sama. Kalau di masa lalu agar mereka yang hilir mudik tak perlu khawatir kehausan, di era milenial sekarang ini, agar siapapun terhindar dari terinfeksi virus Covid-19.
Mereka yang merasa bersentuhan dengan hal-hal yang potensial menjadi penyebar virus, tak perlu kebingungan mencari air dan sabun atau hand sanitiser. Cukup menoleh ke kiri atau ke kanan, melangkah beberapa meter, akan mudah ditemukan kebutuhan itu. Hampir di semua daerah dinamika sosial seperti itu merebak termasuk di kota-kota besar, seperti Jakarta sebagai ekspresi murni kepedulian, sikap gotong royong, empati, simpati dan lainnya. Mungkin inilah salah satu faktor -semoga saja- perkembangan sebaran Covid-19 di negeri ini relatif rendah.
Inilah kekuatan masyarakat negeri ini. Kekuatan yang ibaratnya seperti sawah subur yang hanya membutuhkan pengelolaan dan penanganan menjadi kekuatan sosial dasyat untuk memerangi wabah virus Covid-19. Dan tentu akan lebih maksimal lagi efek kekuataannya jika dibarengi pula melaksanakan berbagai perilaku keputusan pemerintah seperti menjaga jarak, tinggal di rumah jika tidak perlu, menjaga kebersihan dan point lainnya. Indonesia insya Allah bisa, menghadapi kekuatan lawan apapun termasuk virus Covid-19. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.