Oleh: Miqdad Husein (*)
Dalam kehidupan keseharian sering seorang dokter yang kelabakan menghadapi pasien terpaksa mengeluarkan perkataan pamungkas. “Percuma minum obat berdosis-dosis jika tak pantang makanan dan minuman yang terlarang.”
Kalimat bernada kesal itu biasanya disampaikan kepada pasien bandel, yang masih saja melabrak pantangan baik makanan maupun minuman serta berbagai aktivitas yang kemungkinan membahayakan. Seorang pasien diabet yang kembali berobat kemungkinan mendapat ‘resep’ itu jika ketahuan masih saja tak mampu mengendalikan dan mengatur pola makan. Biasanya, juga diikuti kalimat khas dokter lainnya seperti, “Kalau bapak masih saja makan melampaui takaran, sulit mengatur kadar gula darah. Apalagi tidak pernah mau berolahraga.”
Rangkaian fragmen keseharian dalam dunia kesehatan itu sebenarnya merupakan asas kausalitas, sebab akibat. Bahkan bisa jadi sebagai aksioma atau kebenaran yang tak perlu dibuktikan. Jika tak mau makan ya pasti lapar. Jika tetap diam, duduk, jangan berharap sampai ke tujuan.
Sederhana sekali, rangkaian kalimat itu. Mudah dipahami. Namun betapa sulit ketika sampai pada pelaksanaan. Biasanya, muncul varian-varian sikap yang bisa jadi dipengarungi egoisme, persepsi, rasa percaya diri berlebihan, ketakutan, kekhawatiran, ketaksabaran dan semacamnya. Hal-hal sederhana tadi karena pikiran campur aduk mudah membuat segalanya tidak lagi berjalan linier. Berkelok-kelok dan akhirnya bukan lagi keinginan terwujud melainkan memunculkan persoalan baru, yang kemungkinan membahayakan.
Fenomena kontekstual wabah Corona sekarang ini sangat pas menggambarkan perilaku paradoks atau kontradiktif. Ingin Corona segera berakhir tetapi berbagai ketentuan pemerintah tentang social distancing, jaga jarak dilabrak dengan berbagai alasan.
Contoh lain, semua umat Islam di negeri ini ingin bulan puasa suasana kembali normal. Salat tarawih dan salat berjemaah meriah seperti bulan ramadan sebelumnya. Berharap acara Idulfitri bersama segala asesorisnya dapat berlangsung seperti biasa. Ada acara mudik, balik dan baju baru lebaran. Tak ada lagi hiruk pikuk masalah Corona. Sebuah keinginan manusiawi.
Tapi lihatlah apa yang terpapar. Masih saja, ketakdisiplinan masyarakat terlihat jelas. Padahal kebijakan pemerintah sekarang akan menentukan harapan umat Islam terkait kemeriahan bulan ramadan. Jika sungguh-sungguh dilaksanakan dari sejak awal berbagai keputusan pemerintah kesempatan menikmati suasana lebaran terbuka.
Ketika kemudian ternyata masih saja perilaku melabrak jaga jarak terus berlangsung dan fenomena Corona diperkirakan masih merebak, reaksi masyarakat bukannya berusaha lebih tertib. Malah sebaliknya makin sulit terkendali. Peningkatan jumlah terinfeksi Corona yang terus meningkat bukannya makin menyadarkan bahaya lalu bersikap lebih tertib. Beberapa bagian dari masyarakat makin nekad melakukan tindakan berbahaya.
Pemerintah, demi menyelamatkan masyarakat agar tak terinfeksi Corona, karena eskalasi masih terus terjadi mewacanakan melarang mudik lebaran. Pertimbangannya sederhana untuk menghindari penyebaran virus Corona ke daerah. Jangan sampai dari Jakarta, yang menjadi daerah asal sebagian besar para pemudik, yang kini menjadi episentrum penyebaran virus Corona makin meluas ke berbagai daerah.
Apakah kemudian paparan penjelasan dan larangan membangkitkan kesungguhan masyarakat lebih tertib? Ternyata tidak. Bahkan upaya melabrak diam-diam mulai dilakukan dengan berusaha mudik lebih awal. Akibatnya pelan-pelan bermunculan kasus terinfeksi masyarakat di daerah. Bukan hal luar biasa jika wabah Corona akan makin sulit terkendali.
Seorang pasien terinfeksi Corona saja mudah sekali menularkan kepada ribuan lainnya. Apalagi ketika berdasarkan data seperti disampaikan Presiden Jokowi, sekarang ini ada sekitar 70 ribuan pemudik, yang sudah ada di daerah. Tergambar jelas potensi penyebaran Corona. Benar-benar seperti gambaran dunia kedokteran: ingin Corona berakhir tapi tetap saja berperilaku mengundang penyebaran Corona.
Moment ramadan dan mudik masih beberapa hari lagi. Dengan memahami secara selintas saja siapapun dapat mengetahui bahwa penyebaran Corona hanya dapat dicegah melalui kemampuan semua orang mengendalikan diri untuk menjaga jarak dan lebih banyak tinggal di rumah. Perilaku itu harus diterapkan pada seluruh aktivitas keseharian termasuk dalam peribadatan keterikatan keagamaan.
Beribadah dengan benar, akal sehat tetap jalan. Jika salat sendiri dibolehkan, mengapa harus memaksakan diri salat berjemaah di masjid, yang terbukti potensial menyebarkan virus Corona. Apalagi memaksakan diri untuk mudik yang sekedar asesoris dan terbukti potensial berbahaya.
Silaturrahmi lebaran memang perlu, tapi keselamatan dan kesehatan keluarga di daerah, jauh lebih penting. Bukankah tanpa bertemupun sekarang bisa berkomunikasi sambil melihat wajah? Ayo jangan biarkan lebih banyak lagi keluarga menangis karena kematian akibat perilaku jauh dari akal sehat.
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.