Oleh: MH. Said Abdullah*
Ketidakpastian masa berakhirnya pandemi Covid-19 ini berkonsekuensi banyak hal bagi kehidupan sosial ekonomi negeri ini. Satu dari sekian deret masalah yang terprediksikan bakal muncul bertambahnya pengangguran dan kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2019 sebesar 5,28 persen atau mencapai 7,05 juta orang. Angka pengangguran tersebut naik dibandingkan Agustus 2018 yang berjumlah 7 juta orang. Namun, angka itu turun secara persentase dari sebesar 5,34 persen.
Sangat mungkin pada 2020 jumlah pengangguran naik akibat slowing down-nya ekonomi. Data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang telah dirilis per 7 April 2020 menunjukkan, sektor formal dari 74.430 perusahaan dengan total pekerja 1.200.031 telah terdampak pandemi. Perinciannya, 873.090 pekerja formal dari 17.224 perusahaan telah dirumahkan dan 137.489 buruh dari 22.753 perusahaan di-PHK. Sementara itu, di sektor informal, 189.452 pekerja dari 34.453 perusahaan terkena dampak. Artinya, 263.882 usaha telah terdampak pandemi Covid-19.
Data BPS, piramida usaha tahun 2019 menunjukkan, kelompok usaha besar sebanyak 5.460 unit, kelompok usaha menengah 58.627 unit, kelompok usaha kecil 757.090 unit, dan kelompok usaha mikro 62,1 juta unit. Jumlah total usaha di Indonesia sebanyak 62,92 juta usaha. Jika mengacu data Kemenaker per 7 April 2020 di atas, sebanyak 0,4 persen usaha dengan berbagai skala telah terkena dampak pandemi.
Perhitungan ini sangat mungkin juga tidak merangkum sektor-sektor informal yang skala rumahan sebagai unit usaha dan jasa mikro yang tidak terdata di kementerian maupun pemerintah daerah. Seperti pedagang keliling, tukang ojek, dan buruh serabutan, seiring dengan makin banyaknya daerah yang ditetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan social distancing di seluruh Indonesia.
Jika secara eksponensial penderita Covid-19 terus bertambah dan grafik tidak menunjukkan turun secara konstan, implikasi kelompok usaha dengan berbagai skala juga akan makin banyak terkena dampaknya, mulai merumahkan karyawan hingga PHK. Dan, dua-duanya secara ekonomi makin costly, apalagi secara kemanusiaan.
Di luar program penanganan langsung penderita Covid-19, pemerintah telah menggulirkan berbagai program jaring pengaman sosial dan stimulus ekonomi sebagai upaya maksimal mengatasi dampak pandemi. Setidaknya ada tujuh program yang digulirkan pemerintah untuk menambal dampak sosial. Yakni, program keluarga harapan (PKH), padat karya tunai (PKT), bantuan langsung tunai (BLT), kartu sembako, kartu prakerja, subsidi listrik untuk golongan tertentu dan bantuan sosial khusus warga Jabodetabek. Anggaran yang dialokasikan pada APBN 2020 terhadap tujuh program tersebut sebesar Rp 110 triliun.
Untuk kebijakan stimulus ekonomi, pemerintah telah menggulirkan bauran kebijakan fiskal dan moneter, mulai penurunan suku bunga BI rate, menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) rupiah dan valuta asing di bank umum, serta memperluas underlying transaksi bagi investor asing untuk melindungi nilai bagi kepemilikan rupiah mereka. Pada sisi fiskal, pemerintah telah memberikan pembebasan pajak restoran dan hotel di 10 destinasi wisata andalan, pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21 untuk pekerja, penundaan PPh pasal 22 untuk impor, pengurangan PPh pasal 25 untuk badan menjadi 22 persen pada 2020 dan 2021 serta 20 persen pada 2022, restitusi PPN selama 6 bulan, serta stimulus kredit untuk plafon maksimal Rp 10 miliar.
Untuk menjalankan kebijakan dan program stimulus ekonomi itu, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 70,1 triliun untuk kredit usaha rakyat (KUR) dan Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional.
Apakah program tersebut akan efektif membendung pengangguran dan memulihkan ekonomi nasional? Program ini diyakini akan menjadi obat bagi masalah-masalah sosial ekonomi yang timbul akibat pandemi. Namun, ada syarat untuk menjadikan program tersebut efektif. Pertama, dilandaskan data sosial yang akurat, tata kelola yang baik dan monev yang memadai. Kedua, program ini ada kedaluwarsanya. Secara estimasi , program tersebut akan efektif maksimal 6 bulan. Itu pun dengan asumsi grafik penderita Covid-19 tidak makin menjulang tinggi.
Bila objektivitas persyaratan tersebut tidak terpenuhi, program sosial dan stimulus ekonomi itu menjadi tidak optimal. Karena itu, setiap bulan pemerintah harus memiliki hasil monitoring dan evaluasi (monev) atas pelaksanaan program-program tersebut. Saat ini tidak sedang berpikir rutinitas, butuh ekstra effort menjalankan program tersebut. Karena itu, jangan main-main, tidak banyak ’’amunisi” anggaran yang pemerintah punya, terlebih bantalannya bersumber dari surat berharga negara (SBN).
Diharapkan setidaknya awal Mei 2020, sudah ada hasil monev atas pelaksanaan program jaring pengaman sosial dan stimulus ekonomi. Bila kenyataannya tidak menjawab atas postur masalah yang ada, martabat pemerintah tidak akan turun, malah akan dapat apresiasi publik bila bertindak cepat merevisi kebijakan itu. Badan Anggaran DPR sepenuhnya akan memberikan dukungan dalam upaya pemerintah memberikan yang terbaik untuk rakyat.
Terakhir, bila memang pandemi ini berskala waktu lama, pemerintah, harus siap ’’main panjang”. Karena itu, pemerintah harus punya worst scenario soal ini dengan mempertimbangkan jumlah penderita Covid-19 per periode waktu tertentu dan strategi yang akurat untuk mengatasi dampak sosial ekonominya.
Jika menilik kebijakan ekonomi (terutama pajak) dan postur APBN, pemerintah sebenarnya sudah siap menghadapi pelambatan ekonomi hingga 2022. Yang perlu dicermati dan perlu diperlu mendapat perhatian tidak adanya desain program jaring pengaman sosialnya siap ’’main panjang” setidaknya jika dihadapkan potensi eskalasi kasusnya. Karena itu, libatkan banyak pihak yang kompeten untuk mendesain program-program tersebut.
Sangat diperlukan strategi kreatif, partisipatif, breakthrough yang cepat, serta antisipatif. Sebab, bila kasus ini makin eskalatif, pemerintah sendirian saja tidak akan sanggup. Untuk melalui fase berat negeri ini mutlak butuh saling memercayai dan gotong royong. (*)
*Ketua Badan Anggaran DPR RI