Oleh: MH Said Abdullah*
Seabad yang lalu, tepatnya pada tahun 1918 dunia dilanda wabah, pandemi seperti kondisi sekarang. Gina Kolata, penulis Buku, Flu: The Story of the Great Influenza Pandemic of 1918 and the Search for the Virus That Caused It, menuliskan pandemi masa itu menjangkiti hampir satu miliar orang, atau sekitar enam puluh persen penduduk dunia selama 1,5 tahun, dari Maret 1918 hingga September 1919. Flu Spanyol muncul menjadi penyakit paling mematikan masa itu, melebihi ganasnya pes, cacar dan kolera.
Jarum jam seolah berputar. Kejadian yang mirip seperti dunia dilanda Flu Spanyol seabad lalu, terulang. Kini dunia dalam kekalutan menghadapi wabah Covid 19.
Memang jumlah penderita covid 19 saat ini belum sebanyak Flu Spanyol. Namun jumlah penderita covid 19 yang mencapai 2,5 juta penduduk dunia telah membuat dunia seolah berhenti. Penduduk dunia “terkurung” dalam rumah mmasing masing.
Kecanggihan teknologi kedokteran abad 21 seolah tak berarti, meskipun berbagai laboratorium terkemuka terus berupaya keras meracik vaksin yang mumpuni untuk mematikan covid 19.
Namun selalu ada hikmah besar dibalik setiap musibah. Disaat Masjidil Haram sepi dari putaran thawaf dan sujud umat muslim, disaat ibadah Paskah Paus Fransiskus sendirian, yang biasanya di St. Peter’s Basilica, Sistine Chapel dan St. Peter’s Square dipenuhi ribuan jemaat, disaat umat Hindu di Bali memperpanjang nyepi dengan meniadakan perayaan Ngembak Geni, apakah umat manusia sudah pada lupa Tuhan?
Sepenuh keyakinan yang melimpah. Ditengah kesendirian dalam keluarga masing masing, terlebih bagi keluarga yang terpapar covid 19, keluarga yang terhimpit ekonomi akibat dampak corona, keluarga dekat yang terpisah lama, puji dan lantunan panjatan doa tertuju kepada Tuhan justru makin banyak, menjadi “hymne sunyi” namun syarat spiritualitas. Manusia makin dekat dekat kepada Tuhannya.
Kisah yang manusia hadapi saat ini mengingatkan pada kisah film Life of Pi pada tahun 2012 lalu. Saat sekoci Pi terombang ambing di Samudera Pacifik dan hanya ditemani Richard Parker, seekor harimau piaraan keluarganya. Kedua orang tuanya meninggal saat perjalanan bersama dia dengan kapal Jepang dari India ke Kanada. Kapal barang yang mereka tumpangi diterpa badai dahsyat dan tenggelem. Awalnya dia berusaha bertahan hidup bersama Richar Parker, bahkan ketika badai menghantam sekocinya, Richard Parker terlempar ke laut.
Diapun protes kepada Tuhan ketika “teman” setimnya meski hanya binatangpun diambil Tuhan. Namun tuduhan Pi keliru, Richard Parker berhasil selamat dan kembali ke sekoci bersamanya.
Disaat tenaganya sudah mulai tak berdaya, hanya ditemani Parker dalam ratusan hari di Pasifik, diapun pasrah.
Dia sampaikan ke Tuhan, bahwa dia dan Parker siap menghadapNya. Ternyata Tuhan berkehendak lain, Pi dan Parker tiba di Pantai Meksiko dan di evakuasi penduduk setempat.
Bagi seluruh manusia se jagad, inilah momentum yang pas untuk kembali erat ke Tuhan. Bahkan bagi kaum eksistensialis sekalipun, ruang spiritualistas itu akan tumbuh. Tidak ada kekuatan yang melampaui takdir Tuhan, seperti saat kepasrahan Pi di tengah Pasifik dan kepasrahan manusia pada pandemi ini.
Mengingat Tuhan berarti pula mengajak bersikal bijak. Tuhan seolah menyodorkan cermin didepan raut muka sambil seolah berkata; “Kamu telah AKU beri kesempatan hidup kedua, maka bijaklah dalam hidupmu”. Hal ini berarti mengesensikan, bahwa tak boleh ada lagi kisah kisah seorang keluarga, Ibu Yulie beserta suami dan anak anaknya di Serang dua hari tidak makan karena tiada uang, tidak lagi ada kisah Nenek Minah dengan rumah reyotnya di Garut tak mendapatkan bantuan sosial.
Masa pandemi ini adalah kesempatan terbesar yang diberikan Tuhan bagi semua untuk berbagi. Bahwa didalam rezeki yang diperoleh bukan semata milik sendiri. Ada hak anak yatim, dan kaum fakir miskin. Wallahu A’lam Bishawab.
*Ketua Badan Anggaran DPR RI