Oleh: Miqdad Husein
Tiga menteri mengingatkan dan mempertanyakan kepada Gubernur Anies Baswedan terkait bantuan sosial (Bansos) masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Ada persoalan data seperti disebut Menteri Sosial Juliari Batubara, lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut persoalan ketersediaan dana Pemerintah DKI Jakarta dan terakhir Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy soal komitmen kesepakatan rapat terbatas.
Menjadi heboh, kenapa ‘ribut-ribut’ terkait Bansos itu terjadi hanya dengan Gubernur Jakarta. Sekalipun tak separah di Jakarta, seperti diketahui persoalan pandemi Covid-19 bukankah juga terjadi di seluruh provinsi. Paling tidak tiga Gubernur di Jawa, yaitu Gubernur Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur sejauh ini terlihat adem-adem saja. Mereka sibuk mengatasi dan berusaha menyelesaikan pandemi Covid-19. Jadi, jangankan perseteruan dengan para Menteri, riak-riak di internal daerah masing-masingpun praktis tak terdengar. Satu-satunya ‘kehebohan’ apalagi kalau bukan soal klasik yaitu kesimpang siuran data.
Namun khusus Gubernur Jakarta agaknya terasa lain sekali. Seakan menjadi hal rutin. Selalu berbagai persoalan penanganan Jakarta menimbulkan kehebohan. Uniknya, pada kasus yang sama ketika terjadi di daerah lain, biasa saja. Tak ada gempita dan riak-riak berarti.
Soal banjir beberapa waktu lalu misalnya. Masyarakat mengetahui banjir di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Banten, tidak kalah dasyat dibanding Jakarta. Namun hiruk pikuk justru lebih banyak terjadi di Jakarta. Kehebohan sangat luar biasa terjadi di Jakarta.
Di masa lalu, mungkin Jakarta menjadi pusat perhatian karena pemberitaan masih terpusat. Namun kini, ketika informasi dan komunikasi menyelusup ke pelosok desa, jarum jatuhpun di pelosok desa kini hanya dalam hitungan detik tersebar dan mudah menjadi viral di seluruh Indonesia bahkan dunia. Media sosial berperan begitu dasyat sehingga media mainstrem seperti terbantukan untuk mengangkat peristiwa apapun menjadi perhatian seluruh masyarakat negeri ini.
Itu artinya, tidak logis bila sorotan pada Anies Baswedan karena faktor Jakarta episentrum pemberitaan. Apalagi bila dibandingkan dengan daerah, yang sama-sama masih berada di kawasan Jawa. Keseimbangan eskalasi pemberitaan praktis sudah relatif sama.
Jangan lupa di media sosial sosok Anies ini ramai pula menjadi sorotan. Dan, komentar citizen bukan tanpa dasar. Artinya, bukan mencari-cari kesalahan. Selalu ada faktor pemantik yang muncul dari Anies sendiri. Contoh paling sederhana pernyataan Anies tentang karangtina wajah. Kata itu karuan saja menjadi perbincangan dan cemohan. “Bilang saja masker, kok pakai istilah karangtina wajah segala,” teriak seorang netizen.
Kebiasaan Anies Baswedan melakukan press conferens hingga disebut sebagai hoby juga menjadi faktor mengapa Anies mudah jadi bulan-bulanan publik. Celakanya, sering berbagai pernyataannya hanya sekedar omong kosong. Tak ada bukti kongkrit.
Contoh riil pernyataan Anies tentang pembangunan laboratorium DKI Jakarta untuk mempercepat tes Covid-19 dalam tiga minggu. Ternyata sampai kini belum terlihat hasilnya. Padahal pernyataan itu disampaikan dalam press conferen. Lalu, bansos Pemda DKI Jakarta yang disebut akan ada daging sapi dan ayam ternyata tak ada.
Sebuah pernyataan baru kembali dilontarkan Anies Baswedan. Kali ini menyampaikan pernyataan kepada The Sydney Morning Herald dan The Age. Salah satu poin pernyataan Anies berisi pengakuan bahwa ia sudah melacak kasus potensial Covid-19 sejak Januari. Dengan gagah menegaskan pula sudah melakukan berbagai persiapan seperti menyediakan hotline terhubung ke 190 rumah sakit di Jakarta, serta mengusulkan agar pemerintah pusat mengizinkan DKI Jakarta melakukan tes namun ditolak pemerintah.
Pernyataan itu langsung diserbu warganet karena sangat jelas berbohong. Sebab, sejak awal tahun 2020 hingga Februari, Pemda Jakarta sibuk mengatasi 6 kali banjir yang mengenangi Jakarta. Di Januari itu, Anies justru sibuk membabat ratusan batang pohon di kawasan Monas unuk pembangunan trek balap Formula E.
Jadi, kehebohan itu memiliki dasar rasional alias ada pemantiknya. Soal apakah ini bagian dari permainan komunikasi politik atau bukan, tentu perlu dibuktikan. Apakah terkait agenda politik menghadapi Pilpres 2024, juga masih menjadi tanda besar.
Beberapa kalangan memang sempat mensinyalir di tengah pandemi Covid-19 ini ternyata ada kepala daerah yang sibuk mencari panggung. Memanfaatkan Covid-19 dengan segala cara untuk agenda politik. Jika benar, tentu sebuah perilaku jauh dari keberadaban yang sangat menghianati nilai-nilai kemanusiaan. Ini sama saja menari di atas penderitaan para korban terinfeksi dan terdampak pandemi Covid-19.
Dalam situasi sekarang ini siapapun seharusnya berpikir dan berusaha keras bagaimana agar pandemi Covid-19 segera berakhir. Keselamatan seluruh rakyat harus menjadi prioritas utama. Jangan ada sepercikpun syahwat dan pikiran kepentingan politik.
Seluruh pemimpin di dunia memperlihatkan komitmen itu. Tentu terasa aneh bila di negeri ini, dalam situasi nyawa rakyat terancam masih ada yang berpikir kepentingan dan menjadikan pandemi sebagai panggung politik. Benar-benar terlalu.