Oleh: MH. Said Abdullah*
Sekali waktu seorang sahabat bercerita kepada Rasulullah tentang seseorang yang sangat tekun beribadah di masjid. “Sepanjang waktu dia itu berada di masjid ya Rasulullah,” jelasnya.
Sahabat itu menceritakan dengan penuh kekaguman dan berharap Rasulullah memberikan pujian. Namun, bukan pujian yang diperoleh melainkan pertanyaan yang membuatnya terkejut. “Lalu siapa yang memberi dia makan,” tanya Rasulullah.
Dengan terbata-bata sahabat itu menjawab bahwa masyarakat sekeliling masjid, bergotong royong yang memberi makan. “Mereka yang memberi makan lebih baik,” tegas Rasulullah, membuat si sahabat terperangah.
Fragmen sangat populer di kalangan ummat Islam itu menjadi terasa spesial ketika dipaparkan kembali di momen pandemi Covid-19. Sangat mungkin dapat memberikan semangat indah bahwa tidak ke masjid karena social distancing dan stay at home bukan berarti kehilangan kesempatan memperoleh nilai ibadah kepada Allah. Di luar masjid pun umat Islam dapat terus beribadah kepada Allah SWT.
Masjid terpapar jelas sesungguhnya bukan episentrum keseluruhan aktivitas kesadaran spiritual manusia. Masjid tempat ‘jeda” spiritual dan tempat penggodokan berbagai konsepsi keumatan. Aktivitas sosial di tengah masyarakatlah perwujudan sesungguhnya nilai-nilai spiritual bermuatan rahmatan lil alamin.
Perintah Allah sangat jelas: bertebaranlah di bumi Allah untuk mencari nafkah dan berkiprah serta berhikmat. Bukan justru memencilkan diri di sudut-sudut masjid. Melalui kepedulian dan pengabdian sosial umat Islam pasca berubudiyah di masjid dapat mewujudkan subtansi dan keindahan ajaran Islam.
Masjid memang merupakan pusat budaya umat Islam. Di masjid dikembangkan nilai-nilai spiritual dan konsepsi sosial. Namun dalam konteks aplikatif masjid lebih merupakan terminal titik berangkat ummat Islam menuju pengabdian sesungguhnya di tengah masyarakat.
Di masa pandemi ini, memang sementara waktu ada perpindahan fungsi terminal dari masjid ke rumah-rumah. Namun subtansi peran masjid sebagai distributor semangat rahmatan lil alamin tetap dapat berlanjut. Ibaratnya, hanya karena situasi pandemi, spiritualitas ubudiyah dan penggodokan konsepsi sosial umat Islam, sementara ‘mengungsi’ ke tempat lebih aman, di rumah-rumah.
Tentu memang suasana terasa berbeda. Tapi di sinilah umat Islam dapat melakukan perenungan ruhani untuk instrospeksi diri. Ketika suasana pandemi menggugah kepedulian kepada sesama, umat dapat menyegarkan kesadaran pengabdian sosial.
Pandemi Covid-19 menjadi semacam kesempatan mengevaluasi relasi ummat Islam dengan masjid. Bagaimana agar masjid tidak terjebak kemeriahan seremonial. Kemudian mendorong memposisikan peran masjid menjadi lebih bergairah dalam berhikmat di tengah masyarakat.
Selalu ada nuansa indah dalam momen apapun. Sebuah bukti lagi bahwa Tuhan sangat menyayangi hamba-Nya. [*]
*Ketua Badan Anggaran DPR RI