Oleh: Miqdad Husein
“Sebaiknya anda berhenti merokok jika ingin usia lebih panjang,” nasehat seorang dokter kepada seorang pasien.
“Maaf dok. Tak ada hubungan rokok dengan usia serta kematian. Mati itu berhubungan dengan hidup. Jika sudah waktunya meninggal yang hidup pasti akan meninggal,” jawab pasien, dengan nada ‘ngeyel.’
Dokter diam sejenak sambil memandang pasien yang tersenyum tanpa rasa bersalah. Lalu, “Baiklah jika itu keyakinan bapak. Begini. Agar bapak hidupnya nyaman terhindar dari gangguan penyakit sebaiknya berhenti merokok.”
“Nah, kalau itu saya setuju,” kata pasien lagi.
Dialog dokter dan pasien di atas bukan menggambarkan diskusi intelektual. Bukan perdebatan ilmiah, melainkan mewakili kengeyelan atau sulitnya memberikan pemahaman tentang bahaya merokok. Pasien sudah jelas sedang sakit dan yang memberikan peringatan dokter tetapi tetap saja disanggah dan dibantah.
Secara obyektif memang tak bisa disimpulkan dialog dokter pasien tentang rokok representasi masyarakat negeri ini. Namun jika mencermati kebiasaan merokok, Indonesia dikenal sebagai surga para perokok. Artinya, ada persambungan antara realitas jumlah perokok dan perilaku ngeyel.
Di tengah masyarakat sudah lama ada candaan tentang rokok dan kematian. Masyarakat Indonesia disebut berani mati. Selalu siap berjihad. “Lha sudah tahu rokok dapat membunuhmu masih saja tetap merokok. Benar-benar berani mati.”
Jelas bukan omong kosong soal keberanian menghadapi maut. Cobalah amati perilaku berlalu lintas dalam keseharian. Yang namanya melawan arah saat berkendara bukan hal luar biasa.
Perilaku melabrak aturan itu bahkan yang sangat berbahaya dan mengancam keselamatan diri sendiri saja dianggap biasa. Apalagi yang hanya membahayakan orang lain. Makib kurang peduli lagi.
Dengan kebiasaan – agak menyakitkan kalau disebut budaya- main labrak bahaya, bukan hal luar biasa jika persoalan penanganan pandemi Covid-19 sangat sulit dilaksanakan. Lha yang jelas diancam dapat membunuh tetap dihadapi santai apalagi yang sekedar menyebabkan sakit.
Memakai helm saat mengendarai sepeda motor saja masih banyak dilanggar apalagi sekedar memakai masker. Jangankan keselamatan orang lain, keselamatan diri sendiri saja diabaikan.
Tayangan televisi, berita di media cetak termasuk media sosial sudah bertumpuk informasi bahaya Covid-19. Korban meninggal, keprihatinan penanganan jenazah yang hanya bisa dihadiri petugas belum mampu menggerakkan kedisiplinan masyarakat. Ironisnya masyarakat ingin pandemi berakhir dan kembali beraktivitas normal. Namun protokol Covid-19 masih saja dicuekin.
Jawa Timur kini jadi episentrum penyebaran Covid-19 dan mulai melampaui Jakarta. Di luar faktor perbandingan jumlah penduduk, apa yang saat ini terpapar di Jawa Timur dapat lebih menggambarkan tentang kebiasaan nekad melawan bahaya.
Secara rasional masyarakat Jawa Timur seharusnya belajar dari Jakarta. Kepahitan di Jakarta dicegah seoptimal mungkin agar tidak terulang. Belajar dari kesalahan daerah lain. Demikian seharusnya.
Tetapi tampaknya Jawa Timur akan menjadi pemasok angka terinfeksi Covid-19 tertinggi, melampaui jauh daerah lain jika tak ada langkah taktis mengacu budaya masyarakat Jawa Timur. TNI dan Polisi sudah mulai dilibatkan di seluruh Indonesia. Namun untuk Jawa Timur agaknya perlu pendekatan berbeda. Jika berharap pengaruh TNI dan Polri seperti daerah lain, untuk Jawa Timur siap-siap akan kecewa. Lho?
Mungkin cerita carok di Madura bisa menjadi pertimbangan. Tradisi duel hidup mati di Madura, di masa lalu itu jika sedang berlangsung sulit dilerai. Sekalipun didatangkan polisi dan TNI satu batalyon tak akan mampu melerai. “Utus satu Kiai berpengaruh. Dijamin damai,” tutur seorang budayawan Madura.
Nah Gubernur Jawa Timur Khofifah serta para pemimpin daerah tingkat II lainnya perlu belajar dari kasus Carok di Madura, jika ingin memutus rantai pandemi Covid-19 lebih cepat. Ajak Kiai berperan aktif. Minta Kiai turun gunung. Hanya sosok sederhana dan bersahaja itu yang lebih diikuti. Lainnya, akan dianggap ndak tentu benar.