PAMEKASAN, koranmadura.com – Petambak garam lokal menyatakan distribusi garam lokal masih belum maksimal meski sudah memasuki masa awal musim panen garam.
Ketua Forum Petani Garam Madura, Mohammad Yanto, meminta pemerintah menunda ijin impor garam selama stok garam lokal belum terserap total. Saat ini, stok garam lokal masih menumpuk di gudang penyimpanan dan belum terjual.
Di Madura, hasil produksi garam yang belum terjual mencapai 255 ribu ton. Sebagian tersimpan di gudang milik PT. Garam dan belum tersalurkan ke pabrikan.
Di satu sisi sebanyak 2,3 juta ton garam impor dari India dan Australia sudah masuk tanah air. Kondisi tersebut dikawatirkan akan menyebabkan garam produksi lokal tidak akan terserap. Selain itu, harga jual komoditas tersebut akan semakin terpuruk.
“Saat ini, garam rakyat hanya dihargai Rp. 150 perkilogram untuk kualitas utama. Kalau sampai garam impor masuk, diyakini garam rakyat tidak akan terbeli,” kata Yanto, Senin 20 Juni 2020.
Dalam kajian Forum Petani Garam Madura dan sejumlah asosiasi pegaraman lainnya, kata dia, salah satu penyebab rusaknya tata niaga garam, adalah ijin impor yang terlalu awal. Seharusnya, ijin baru dikeluarkan setelah garam lokal sudah hampir terserap secara keseluruhan.
Sebab, meskipun garam impor tersebut dikhususkan untuk garam industri, namun pada kenyataannya, pihak pabrikan menjadikannya garam komsumsi.dengan cara dioplos dan dijual dengan harga murah.
Ia menilai, dari segi kwalitas, garam lokal tidak kalah bila dibandingkan dengan garam impor. Sebab, saat ini proses produksinya sudah menggunakan teknologi yang memungkinkan untuk menghasilkan garam dengan kualitas yang bagus.
“Selama ini pabrikan beralasan kwalitas garam kami tidak memenuhi standar yang dibutuhkan. Tapi mereka tidak pernah memberi bukti berupa hasil uji laboratorium tentang hal itu,” kata Yanto.
Ketua Paguyuban Petambak Garam Pamekasan, Syaifudin, mengatakan saat ini serapan garam rakyat sangat minim sehingga stok hasil produksi tahun ini masih menumpuk di sejumlah gudang penyimpanan.
Pembelian garam rakyat oleh pabrikan hanya dilakukan pada puncak musim pendederan, itupun sangat terbatas sehingga tidak semua garam produksi petambak lokal terbeli.
“Pabrikan lebih memilih impor karena harganya lebih murah daripada membeli garam produksi lokal,” kata Syaifudin.
PT. Garam yang selama ini menjadi salah satu perusahaan penyerap garam rakyat menghentikan pembelian dengan alasan stok yang masih menumpuk dan tidak ada tempat penyimpanan.
Ia menilai, dibutuhkan revisi terhadap aturan yang berkait dengan tata niaga garam. Bahkan, revisi tersebut dinilainya cukup mendesak dilakukan sebagai jalan keluar atas persoalan pergaraman yang dianggap masih bermasalah.
“Kami menganggap, masih ada masalah dengan aturan tata niaga garam. Ini terbukti dengan masih menumpuknya hasil produksi garam di gudang-gudang penyimpanan hingga ratusan ribu ton. Bahkan ada sisa produksi tahun lalu yang belum terjual,” katanya.
Berdasar data di PT. Garam maupun asosiasi petambak garam, saat ini masih ada sekitar 607,3 ribu ton hasil produksi garam yang belum terserap dan berada di gudang penyimpanan.
Rinciannya, 464,5 ribu ton merupakan hasil produksi PT. Garam dan 152,4 ribu ton merupakan hasil penyerapan produksi garam rakyat. Jumlah tersebut menyebabkan gudang penyimpanan milik PT. Garam over kapasitas karena daya tampung gudang hanya 445,6 ribu ton. Akibatnya, 161,6 ribu ton garam harus disimpan di gudang olo yang hanya menggunakan penutup terpal dan rawan rusak.
Di saat hasil produksi garam lokal melimpah, kata politisi yang akrab dipanggil Awiek itu, garam impor dari India dan Australia sudah mulai masuk ke Indonesia dan mulai menggeser pasar garam lokal.
Harga garam impor yang lebih murah, menyebabkan garam produksi nasional tidak laku di pasaran. Apalagi banyak perusahaan yang mengoplos garam impor untuk menjadi garam konsumsi.
“Ini menunjukkan adanya perlunya dilakukan revisi aturan niaga pergaraman nasional,” katanya. (G. MUJTABA/ROS/VEM)