Oleh: Ridwan Darmawan, S.H., M.H.*
KERIUHAN ruang publik akhir-akhir ini baik di media sosial maupun media konvensional dan juga di ruang publik faktual sperti alun-alun, jalanan, ruang-ruang terbuka lainnya di isi dengan Cercaan, Hinaan, Fitnah dan kebencian terhadap salah satu partai pemenang pemilu dua kali berturut-turut yakni PDI Perjuangan, melalui penggiringan opini dan penggorengan isu bangkitnya PKI yang dihubungkan dengan riuhnya kontroversi penyusunan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (selanjutnya di sebut RUU HIP), beberapa waktu lalu, yang menyulut respon dari berbagai kalangan serta beragam ekpresi mulai dari pernyataan sikap dan juga aksi turun ke jalan yakni aksi demontrasi yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Aliansi Nasional Anti Komunis Negara Kesatuan Republik Indonesia (ANAK NKRI) di Jakarta, yang berakhir dengan pembakaran bendera partai Terlarang PKI dan PDI Perjuangan.
Tak pelak, aksi pembakaran tersebut menyulut reaksi yang cukup keras dari seluruh jajaran PDI Perjuangan, tak kurang dari mulai Ketua Umum Megawati Soekarno Putri langsung merespon dengan menerbitrkan surat perintah atau intruksi harian bagi seluruh kader-kader PDI Perjuangan di semua tingkatan, baik DPP, Dewan Pimpinan Daerah, Dewan Pimpinan Cabang, Anak Cabang, Ranting dan Anak Ranting, kader yang duduk di legislatif, juga yang sedang duduk sebagai eksekutif yang pada pokoknya memerintahkan kepada seluruh kadernya untuk merapatkan barisan, tetap solid dan tidak bertindak sendiri-sendiri dan mengambil kebijakan untuk menempuh jalur hukum terhadap permasalahan yang mendera Partai yang dibidaninya.
Tak perlu lama, keesokan harinya setelah insiden pembakaran bendera PDI Perjuangan, langsung direspon dengan Pelaporan kepada pihak berwajib oleh para Kader PDI Perjuangan DPC Jakarta Timur dan Jakarta Pusat, keesokan harinya dilanjutkan dengan pelaporan oleh DPC Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu serta DPD dan DPPP PDI Perjuangan ke masing-masing tingkatan di pihak berwajib, serta juga disusul dengan pelaporan serentak di seluruh wilayah negara republik Indonesia.
Disisi lain, menanggapi respon PDI Perjuangan tersebut, pihak Aliansi Nasional Anti Komunis yang diwakili oleh para juru bicaranya seperti Koordinator Lapangan Aksi ANAK NKRI Edy Mulyadi, PA 212 Slamet Maarif, menyatakan dengan santainya bahwa tindakan PDI Perjuangan tersebut berlebihan dan cendurung lebai. Mereka bahkan kemudian malah memperlebar persoalan dengan menyatakan bahwa PDI Perjuangan justru harus dibubarkan karena telah jelas di dalam AD/ART Partainya menganut paham atau ajaran komunisme dan terindikasi tindakan makar karena mengganti Pancasila dengan Trisila dan Ekasila, sungguh sebuah lelucon yang menggelikan.
Masih menurut mereka, bahkan PDI Perjuangan telah lama memberikan keleluasaan kepada dr. Ripka Tjiptaning sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan sekaligus sebagai Ketua Komisi di DPR RI yang jelas-jelas mengaku sebagai anak dari orang tuanya yang penganut PKI.
“Sesat nalar” dan ahistoris akut lebih tepat untuk menyebut mereka-mereka yang tidak mau memakai akal serta nalar yang benar termasuk tidak maunya mereka mendasarkan argumen atau lebih tepatnya ocehannya kepada literatur-literatur yang kredibel untuk memahami apa dan siapa itu Partai Komunis Indonesia, apa dan siapa yang mencetuskan ide atau konsep Trisila dan Ekasila serta kapan ide itu dicetuskan.
Perlu penulis tegaskan bahwa, apa yang dilakukan oleh PDI Perjuangan, mengambl jalan hukum atas provokasi pembakaran bendera partainya, usul penyusunan RUU HIP dan juga memberikan kesempatan kepada orang yang gidak terlibat langsung dalam peristiwa politik G 30S/PKI dan partai terlarang PKI mengabdikan diri melalui PDI Perjuangan adalah upaya yang sudah benar dan konstitusional serta berdasarkan pada arah kebijakan negara hukum sebagaimana di gariskan oleh peraturan perundang-undangan serta konstitusi UUD 1945.
Polemik mengenai boleh tidaknya, atau larangan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bagi mereka yang “bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30. S/PKI atau organisasi terlarang lainnya” dalam hal ini termasuk di dalamnya berarti larangan aktif di partai politik, karena calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota harus otomatis sebagai anggota Partai Politik yang sah, pernah mencuat pada medio tahun 2003 lalu, saat akan menghadapi hajatan Pileg dan Pilpres Langsung Pertama Tahun 2004.
Adalah para perumus Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memasukkan klausul ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, yang berisi larangan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bagi mereka yang “bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30. S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.
Tak pelak, Pasal itu kemudian menimbulkan kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan, karena di tengah situasi politik kita yang masih dalam suasana demokratisasi pasca bergulirnya reformasi tahun 1998, kemudian di tengah membuncahnya harapan akan terjadinya rekonsiliasi politik bangsa yang menyeluruh terhadap para korban politik masa lalu, Pasal pelarangan tersebut jelas menimbulkan persoalan baru dan malah mundur kembali sebagimana dirasakan oleh para tokoh-tokoh pembaharu kita saat itu dan terutama para korban politik rezim orde baru kala itu.
Atas polemik itu, kemudian sejumlah tokoh mengajukan perkara permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Para Pemohon Perorangan berjumlah 28 orang dari berbagai latar belakang dan sejumlah tokoh di antaranya seperti Prof. Delair Noer, Ali Sadikin dan Sri Bintang Pamungkas, yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya dari LBH Jakarta dan PBHI, serta Pemohon dari Para Pemimpin Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (DPP-LPRKROB) yang diwakili oleh Ketua Umum DPP atas nama Sumaun Utomo, Sekjend Achmad Soebarto dan Mulyono, SH selaku Ketua Departemen Hukum dan Advokasi DPP-LPRKROB yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya yakni, Said Pradono Bin Djaya, Ngadiso Yahya Bin Somoredjo, Casman Bin Setyo prawiro dan Mahmuri bin Zahzuri. Bahwa sebagai warga negara Para Pemohon mempunyai hak yang sama untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara dengan turut serta berpartisipasi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk ikut berpartisipasi untuk menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD yang merupakan hak yang dijamin secara konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa yang menjadi permasalahan pokok dalam permohonan tersebut adalah dimuatnya ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, yang berisi larangan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bagi mereka yang “bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30. S/PKI atau organisasi terlarang lainnya”
Untuk lebih jauh memahaminya, Penulis langsung menghadirkan secara utuh pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan perkara tersebut, agar kita semua memahami dan tentu menjalankan ketentuan tersebut karena bagaimanapun Putusan MK itu bersifat Final dan mengikat.
Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003:
Menimbang bahwa pengujian undang-undang yang dimohonkan Para Pemohon a quo adalah Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang oleh mereka dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena bersifat diskriminatif serta meniadakan hak konstitusional Para Pemohon a quo.
Menimbang, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melarang diskriminasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2). Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai penjabaran ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melarang sekelompok Warga Negara Indonesia (WNI) untuk dicalonkan serta menggunakan hak dipilih berdasarkan keyakinan politik yang pernah dianut;
Menimbang bahwa Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwasannya setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ditegaskan pula dalam Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwasannya setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu; yang sesuai pula dengan Article 21 Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan:
- Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives.
- Everyone has the right of equal access to public service ih his country.
- The will of people shall be the basis of the authority of government; this wol shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures.
Selain itu, dalam perkembangan selanjutnya mengenai hak-hak manusia yang berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik, Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Tahun 1966 telah menghasilkan kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang dikenal dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) berlaku sejak tanggal 1 Januari 1991, di mana 92 (sembilan puluh dua) dari 160 (seratus enam puluh) negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi negara anggota; Menimbang, bahwa Article 25 tentang Civil and Political Rights dimaksud mengatur sebagai berikut: “Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions: a) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely chosen representatives; b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors; c) To have access, on general terms of equality, to public service in his country; Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara;
Menimbang bahwa memang Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan dimungkinkannya pembatasan hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang, tetapi pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah di dasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dengan maksud “semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-inilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”; tetapi pembatasan hak dipilih seperti ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum tersebut justru karena hanya menggunakan pertimbangan yang bersifat politis. Di samping itu dalam persoalan pembatasan hak pilih (baik aktif maupun pasif) dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misainya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif;
Menimbang bahwa dari sifatnya, yaitu pelarangan terhadap kelompok tertentu warga negara untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 60 huruf g jelas mengandung nuansa hukuman politik kepada kelompok sebagaimana dimaksud. Sebagai negara hukum, setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
Menimbang bahwa Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme juncto Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, yang dijadikan alasan hukum Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah berkaitan dengan pembubaran Partai Komunis Indonesia dan larangan penyebarluasan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme yang sama sekali tidak berkaitan dengan pencabutan atau pembatasan hak pilih baik aktif maupun pasif warga negara, termasuk bekas anggota Partai) Komunis Indonesia;
Menimbang bahwa suatu tanggung jawab pidana hanya dapat dimintakan pertanggungjawabkan kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige), maka adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggung jawab tersebut dibebankan kepada seseorang yang tidak terlibat secara langsung;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan berdasarkan pula keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat serta alat-alat bukti tertulis, saksi, dan ahli maka ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang berbunyi “bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massa, atau bukan orang yang terlibat langsung maupun tak langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia atau organisasi terlarang lainnya”, merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik, dan oleh karena itu, bertentangan dengan hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 D ayat (1), ayat (3), dan Pasal 28 I ayat (2); Menimbang bahwa oleh karena itu cukup beralasan untuk menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
Menimbang bahwa di samping pertimbangan juriis tersebut di atas, materi ketentuan sebagaimana terkandung dalam Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipandang tidak lagi relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional yang telah menjadi tekad bersama bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu, meskipun keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa G.30.S pada tahun 1965 tidak diragukan oleh sebagian besar bangsa Indonesia, terlepas dari tetap berlakunya Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 juncto Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tetapi bekas anggota Partai Komunis Indonesia dan organisasi Massa yang bernaung dibawahnya, harus diperlakukan sama dengan warga negara yang lain tanpa diskriminasi;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas tentang pokok perkara, dalam Sidang Pleno Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 24 Februari 2004, telah mengambil putusan terhadap permohonan Para Pemohon a quo dengan 1 (satu) orang Hakim Mahkamah Konstitusi mengajukan pendapat berbeda; Memperhatikan, Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juncto Pasal 10 ayat (1) juncto Pasal 45, juncto Pasal 51 ayat (1) dan juncto Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 24 Pebruari 2004 dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal 24 Pebruari 2004, oleh kami: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., selaku Ketua dan didampingi oleh: Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., Prof. Natabaya, S.H., LLM., Dr. Harjono, S.H., MCL, I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Prof. Dr. H. Mukthie Fajar, S.H., M.S., Maruarar Siahaan, S.H., Soedarsono, S.H., dan H. Achmad Roestandi, S.H., masing-masing sebagai Anggota dan dibantu oleh Cholidin Nasir, S.H. sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Para Pemohon l/Kuasanya dan Para Pemohon II/Kuasanya;
Oleh karena itu, polemic tentang sesorang yang diduga terafiliasi atau bahkan menurut Putusan Mahkamah bekas penganut faham Komunis atau bekas anggota komunis, serta kebijakan PDI Perjuangan memberikan kesempatan dan berkarya seluas-luasnya bagi salah satu kadernya yakni dr. Ribka Tjiptaning sebagai anak dari anggota PKI, adalah kebijakan yang justru menunjukkan bahwa PDI Perjuangan adalah Partai yang menjunjung tinggi Hukum dan HAM serta konstitusi sekaligus.
Karena sifat putusan Mahkamah Konstitusi adalah final dan mengikat, artinya pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan diatas mengikat terhadap seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali, bahwa tafsir Mahkamah terhadap Ketentuan Pasal 27 dan 28 UUD 1945 sudah jelas dan inal bahwa konstitusi Indonesia sangat menghargai, menghormati Hak Asasi Manusia, tsebaliknya berarti justru adalah tindakan inkonstitusional.
Bahkan jika ingin bukti bahwa PDI Perjuangan lewat Ketua Umunya Megawati Soekarno Putri yang kala itu –saat penyusunan dan pengesahan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebaga Presiden Indonesia ke-4, harusnya menjadi bukti bahwa PDI Perjuangan sebagai salagh satu Fraksi di DPR juga menyetujui ketentuan Pasal 60 huruf g yang melarang bekas anggota PKI mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota sebelum akhirnya dibatalkan oleh Mhakamah Konstitusi, sehingga tuduhan dan fitnah bahwa PDI Perjuangan memberi jalan bagai kebangkitan neo komunis menjadi terbantahkan dengan sendirinya.
Jadi menurut hemat penulis, keriuhan di ruang public akhir-akhir ini dan sepertinya belum menunjukkan tanda-tanda kearah meredup dan perlahan sunyi dari isu tentang bangkitnya hantu komunisme tersebut, perlu kiranya para tokoh bangsa, elit-elit politik, negarawan, para Begawan politik dan hukum, sejarawan dan juga pelaku-pelaku sejarah perubahan politik tahun 1998 harus kembali turun gunung untuk mengingatkan serta mengedukasi warga rakyat agar segera menyadari dan kembali ke jalan yang benar bahwa isu hantu PKI sudah tidak ada lagi, ingatkan mereka untuk lebih focus ke depan, focus bagaimana mengisi alam demokrasi yang telah dinikmati bersama ini untuk sama-sama menuju perwujudan cita-cita kemerdekan dan pendirian negara ini sebagaimana telah diletakkkan oleh para Founding Fathers kita dan termaktub dalam mukaddimah UUD 1945, ingatkan semua warga bangsa untuk terus menjunjung tinggi hukum dan HAM sebagai perwujudan dari Sila Kedua Pancasila yakni Kemanusian yang adil dan beradab sekaligus juga perwujudan dari pengamalan dan penghayatan atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa. (*)
*Advokat. Alumni Pascasarjana Universitas Pamulang. Anggota Badan Kebudayaan Nasional (BKN) DPP PDI Perjuangan.