Oleh: Miqdad Husein
Jerinx, drummer group musik Superman is Dead ternyata masih yakin pandemi Covid-19 merupakan konspirasi. Ia, bahkan memperlihatkan peningkatan kemantapan pada pemikirannya. Dengan penuh keyakinan, tanpa masker Jerinx SID ikut demo tolak rapid dan swab test sebagai syarat administrasi, di Lapangan Badjra Sandhi, Renon, Denpasar, Bali (26/7).
“Menjadi manusia! Aksi Bali Tolak Rapid/Swab akan menjadi gerakan perlawanan nyata rakyat terhadap pembodohan dan bisnis ketakutan!” tulis Jerinx di Istagramnya. Sebuah pernyataan yang makin memperjelas sikapnya.
Soal penolakan terhadap pemanfaatan situasi pandemi untuk kepentingan bisnis, seperti rapid dan swab test yang mencekik leher mungkin masih bisa dipahami. Namun menyebut pandemi Covid-19 sebagai pembodohan tentu layak dipertanyakan.
Saat ini terinfeksi Covid-19 di seluruh dunia telah mencapai angka lebih 16 juta jiwa, meninggal sebanyak sekitar 650 ribu jiwa. Sebanyak 215 negara -termasuk Korea Utara yang sebelumnya tak ada kasus- sedang bertarung berusaha mengatasi penyebaran Covid-19 yang masih terus menunjukkan kurva meningkat. Bisakah gerakan massal yang berjuang keras sebagai pembodohan. Rasanya, akal sehat sulit menerimanya.
Penyampaian informasi tentang Covid-19 bukanlah penyebaran ketakutan. Apa yang terpapar lebih merupakan progres betapa eskalasi penyebaran Covid masih terus berlangsung dan korban berguguran terus berjatuhan. Mungkin, ketakutan di tengah masyarakat ada pula yang memanfaatkan sebagai ajang bisnis. Dan itu selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Namun, menyebut pandemi covid sengaja diciptakan untuk menjadi ladang bisnis, rasanya sulit diterima akal sehat.
Jerinx rupanya mengabaikan informasi tentang dampak pandemi covid terhadap ekonomi dunia. Seluruh dunia saat ini mengalami penurunan pertumbuhan minus 7 sampai 8 persen. Singapura misalnya yang perkasa dan tampak sangat luar biasa telah bangkrut. Kemiskinan dan penderitaan rakyat merata di seluruh penjuru dunia. Terlalu naif jika menyebut konspirasi karena secara tak langsung menganggap seluruh warga 215 negara bodoh dan tolol, tidak menyadari konspirasi.
Jerinx perlu belajar dari Richard Rose, yang begitu berani bertindak nekat. Mantan tentara Amerika Serikat itu menolak memakai masker dan bahkan kampanye anti masker. Namun kenekatan dia mengantarkan pada akhir hidupnya. Ia meninggal di rumahnya pada awal Juli lalu akibat komplikasi dari infeksi Covid-19.
Sebelumnya Richard Rose sangat lantang meneriakkan penolakan pemakaian masker. “Saya tidak akan membeli masker. Saya sudah berhasil sampai sejauh ini tanpa membeli masker sialan,” katanya di Facebook. Sebuah kenekatan dan kesombongan yang dibayar mahal.
Benar memang ada perilaku segelintir masyarakat yang memanfaatkan pandemi Covid-19 ajang untuk mencari keuntungan. Tak perlu jauh-jauh. Yang paling sederhana soal masker. Sejak pertama kali ada informasi terinfeksi Covid-19, harga masker naik mengerikan sampai 10 kali lipat.
Sangat jelas perilaku bisnis itu memanfaatkan derita dan nestapa masyarakat yang sedang berjuang keras memerangi pandemi Covid-19. Praktek-praktek sejenis dapat pula ditemukan di berbagai penjuru dunia. Namun, menyimpulkan perilaku memanfaatkan dari sebagian masyarakat dunia merupakan bagian dari konspirasi pandemi jelas sangat tidak masuk akal. Covid-19 adalah realitas obyektif sebagai pandemi. Bahwa ada yang memanfaatkan untuk kepentingan bisnis, merupakan bagian dari pernik-pernik pandemi.
Dua hal berbeda ini memang mudah menggoda untuk kemudian menyusun teori konspirasi. Selintas memang memiliki persambungan seakan sebab akibat. Seakan ada yang menebar covid untuk menarik keuntungan. Padahal jika sedikit saja menghitung kerugian dan dampak pandemi, logika sehat sulit menerimanya.
Sebuah video menceritakan tentang teori konspirasi sempat beredar di media sosial, di tengah masyarakat. Yang dituding sebagai aktor utama adalah Bill Gates. Ia memang sangat pas karena tahun 2015 pernah menyampaikan pidato tentang potensi ancaman bahaya virus. Lebih meyakinkan lagi ketika segelintir elite di Amerika Serikat sempat mengarahkan tudingan ke pendiri Microsoft itu.
Namun, teori yang selintas terkesan benar dan masuk akal, bila dikaji lebih dalam tampak sekali jauh dari logis. Apalagi bila dikaitkan fakta-fakta obyektif yang terjadi di tengah masyarakat dunia. Misalnya, menyebut dengan konspirasi itu dunia nantinya tergantung pada Bill Gates dalam soal vaksin Covid-19.
Coba telusuri. Apa iya, masyarakat 215 negara di dunia dibodohi Bill Gates. Lalu, apa masuk akal seluruh dunia dalam mengatasi pandemi Covid-19 tergantung vaksin produksi Bill Gates. Bukankah saat ini negara-negara di dunia sedang berlomba menciptakan vaksin, termasuk Indonesia tanpa ketergantungan pada Bill Gates. Itu artinya, negara-negara dapat berusaha sendiri membuat vaksin sehingga tak perlu tergantung pada sosok Bill Gates.
Rasanya tak perlu berpikir ruwet apalagi berasumsi tanpa dasar serta mengembangkan teori konspirasi yang setiap orang dapat membuatnya. Saat ini, yang paling sederhana bagaimana mengikuti protokol mengatasi pandemi Covid-19 dengan memakai masker, jaga jarak dan cuci tangan. Itu saja, yang perlu perlu bersama-sama dilakukan. Sebuah upaya sederhana yang diharapkan dapat memutus pandemi Covid-19.