Oleh: MH. Said Abdullah*
Pada acara Webinar tentang Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Keagamaan dan Kebudayaan yang diselenggarakan sebuah LSM di Jakarta, beberapa hari lalu ada pernyataan menarik dari Prof. Dr. Azzumardi Azra, MA. Intelektual Muslim yang tampil sebagai salah satu pembicara itu menegaskan bahwa berbagai lembaga dunia memberikan apresiasi tinggi terhadap sikap dan semangat berbagi masyarakat Indonesia.
Menurut mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah yang aktif menulis itu dua tahun berturut-turut Indonesia menempati posisi tertinggi sebagai negara yang masyarakatnya paling peduli pada sesama. “Masyarakat Indonesia itu sangat luar biasa dalam berbagi membantu sesama,” paparnya.
Azzumardi memberi contoh bila ada musibah banjir, gempa bumi, longsor dan lainnya. Semangat membantu masyarakat sangat luar biasa, baik di perkotaan apalagi di pedesaan.
Pernyataan intelektual muslim itu walau bukan hal baru terutama jika melihat realitas empirik, sekali lagi menegaskan betapa semangat gotong royong masyarakat Indonesia memang sudah menjadi rahasia dunia. Keramahan sesungguhnya terlihat pada kepedulian antar sesama, tanpa batas-batas agama, suku, bahkan perbedaan politik.
Ketegangan saat Pemilu antar pendukung partai bisa saja terjadi. Namun ketika pendukung partai yang berbeda sedang melihat bencana alam misalnya, kebersamaan dan sikap saling tolong menolong seakan otomatis bangkit. Batas-batas ketegangan berguguran berubah menjadi kasih sayang saling peduli.
Saat pandemi Covid-19 sekarang di seluruh negeri mudah ditemukan praktik saling tolong menolong. Yang paling ril misalnya masyarakat menyiapkan air untuk cuci tangan di depan rumah sebagai bagian protokol mencegah penyebaran Covid-19. Siapa yang ingin mencuci tangan dipersilakan.
Tidak salah bila ada pernyataan bahwa kekuatan Indonesia terletak pada semangat gotong royong. Kekuatan itulah yang menjadikan Indonesia selalu mampu mengatasi berbagai cobaan dan tantangan yang terbentang di depan mata.
Bung Karno ketika menyampaikan pidato tentang Pancasila dalam sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan memberikan paparan dan ulasan menarik tentang jati diri masyarakat Indonesia. Ditegaskan Bung Karno tentang lima sila yang kini dikenal sebagai Pancasila. Lalu, dengan sangat brilian disampaikan inti lima sila menjadi Trisila dan terakhir Eka Sila yaitu Gotong Royong.
Saat itu Bung Karno memaparkan dan memberikan tawaran kepada peserta sidang BPUPKI rumusan mana yang secara formal akan ditetapkan. Namun sangat jelas bahwa pilihan apapun tetap berpijak pada lima sila, yang kini dikenal sebagai Pancasila.
Di sini sangat jelas paparan Bung Karno bahwa baik Trisila maupun Ekasila lebih merupakan penyederhanaan konsepsi yang lima sila. Landasan berpikir Bung Karno tetap mengacu pada lima sila. Jadi Ekasila Gotong Royong pun berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Persyawaratan Perwakilan serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Karenanya terasa aneh jika Gotong Royong oleh sementara kalangan dipisahkan dari konteks lima sila. Seakan berdiri sendiri. Padahal paparan Bung Karno sangat jelas dan transparan.
Semangat Gotong Royong yang telah menjadi watak dan karakter Indonesia yang disebut Azzumardi Azra tidak berdiri sendirii. Semangat yang telah mendapat apresiasi dunia itu pencerminan dan perwujudan kesadaran Ketuhanan, semangat persatuan, persaudaraan, musyawarah untuk terwujudnya keadilan sosial.
Pancasila telah luluh mendarah daging pada masyarakat Indonesia yang kontekstual dalam kehidupan sosial mewujud semangat Gotong Royong. Agama Islam yang dianut masyarakat Indonesia menyebut wa ta’awanu alal birri wattaqwa yang artinya tolong menolong dalam kebaikan (ketaqwaan). Di Kristiani ditegaskan dalam ajaran kasih sesama. Demikian pula agama lainnya memiliki subtansi pada tataran sosial juga sama.
Semangat ‘Gotong Royong’ merupakan aplikasi keseluruhan subtansi Pancasila. Lalu, kenapa harus dipermasalahkan?
*Ketua Badan Anggaran DPR RI