Oleh : Miqdad Husein
Kementerian Kesehatan akhirnya menetapkan biaya tertinggi tarif rapid test antibodi untuk Corvid-19. Melalui SE Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tertanggal 6 Juli 2020 ditetapkan tarif rapid test tertinggi Rp 150.000.
Penetapan batasan tarif tertinggi agaknya sebagai respon makin liarnya Rumah Sakit, Laboratorium dan sejenisnya dalam mematok harga. Termasuk ketika masyarakat akan bepergian menggunakan pesawat dan kereta harus berhadapan harga rapid test tinggi hingga membuat biaya perjalanan mencekik leher.
Kebijakan berpihak kepentingan masyarakat itu ironisnya ditolak dan dipertanyakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Alasannya karena penetapan angka 150 ribu dianggap tidak mencukupi proses pemeriksaan.
IDI di sini terkesan menganggap pemerintah tak tahu persoalan harga alat rapid test termasuk bagaimana proses penggunaannya. Pemerintah sudah pasti mengeluarkan ketentuan atas dasar kajian dan perhitungan matang. Hampir tidak mungkin penetapan angka tertinggi dapat merugikan pihak penyedia jasa test.
Sekedar perbandingan harga alat rapid test buatan Indonesia saja harganya hanya Rp. 75 ribu. Jadi kemungkinan besar yang buatan luar karena sudah diproduksi massal lebih murah dari produk Indonesia.
Keputusan kementerian kesehatan jelas bukan semata-mata pertimbangan ekonomis. Langkah penetapan diambil untuk mempermudah masyarakat melakukan test sehingga sebaran terinfeksi dapat segera diketahui dan penanganan pandemi Covid-19 menjadi lebih efektif.
Kondisi perkembangan Covid-19 yang sampai sekarang masih tinggi jelas memerlukan langkah lebih taktis dan efektif. Salah satu caranya memperbanyak pemeriksaan termasuk mengajak masyarakat aktif secara mandiri.
Di sinilah nilai penting penetapan harga tertinggi. Masyarakat diharapkan tergerak lebih bersemangat memeriksa diri karena harga relatif terjangkau.
Dengan semangat dan itikad Kemenkes selintas di atas makin terasa aneh penolakan IDI. Bukankah mempermudah test pada akhirnya mempercepat proses pemutusan penyebaran Covid-19 sehingga beban dokter akan makin ringan. Tentu yang juga penting agar korban meninggal dari para medis seperti dokter -yang berada dalam naungan IDI- seoptimal mungkin dapat dihindari.
Logika penolakan IDI bisa saja justru berpotensi menghambat upaya pemutusan penyebaran Covid-19 yang dapat makin memberatkan tugas dokter dengan kemungkinan bertambahnya dokter gugur saat bertugas.
Berbagai komentar netizen belakangan ini terkait dugaan pandemi Covid-19 menjadi ajang bisnis sulit diingkari. Pandemi Covid-19 seakan jadi areal subur untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Masyarakat tentu ingat fenomena ketika pertama diumumkan warga Indonesia terinfeksi Covid-19 dan ada ketentuan menerapkan protokoler kesehatan. Harga masker tiba-tiba naik luar biasa. Yang sebelumnya satu kardus berisi 50 lembar hanya seharga 50 ribuan berubah naik mencekik leher sampai lebih 500 ribu rupiah.
Kenaikan biaya rapid test memang tak separah masker. Namun tetap terpapar potensi permainan harga di tengah penderitaan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19. Sebuah kondisi kurang beradab karena bagai menari di atas duka dan nestapa.
Mencegah tarian di atas derita itulah keputusan Kemenkes menetapkan batasan harga agar tak membebani masyarakat serta terutama agar pandemi segera berakhir.