Oleh: MH. Said Abdullah*
Di tengah pandemi Covid-19 yang menjadi perhatian seluruh masyarakat Indonesia dan dunia, tiba-tiba terngiang pesan moral politik Almarhum Nurcholish Madjid. Cendikiawan muslim terkemuka yang sampai akhir hidupnya konsisten mengawal moral politik memang dikenal selalu mewanti-wanti tentang urgensi mendorong dan menjaga demokrasi.
Nurcholish tak hanya bicara. Ia pernah merasa perlu turun ke gelanggang politik. Bukan untuk merebut kursi DPR namun sekedar mendorong terwujudnya demokrasi lebih baik.
Pernah pada salah satu momen pemilu di masa Orde Baru Cak Nur, panggilan akrab Nurcholis Madjid tiba-tiba ikut meramaikan kampanye PPP. Padahal tak ada sangkut paut dirinya dengan PPP. Dicalonkan di DPR pun tidak.
Lalu apa katanya ketika ditanya alasan mendukung dan berkampanye untuk PPP. “Jika demokrasi ibarat becak, tidak boleh salah satu dari tiga rodanya kempes,” katanya.
Cak Nur ketika itu melihat terlalu dominannya Golkar. Sementara PPP dan PDI ibarat ban kempes. Dan becak demokrasi tentu saja tak bisa berjalan normal jika salah satu apalagi dua bannya kempes.
Dalam kesempatan lain ketika menyaksikan hiruk pikuk politik Cak Nur selalu menegaskan perlunya menjaga demokrasi. Ia selalu mewanti-wanti agar jangan pernah merusak tatanan demokrasi yang sudah berjalan baik. Dengan tegas Cak Nur selalu meminta para politisi yang berada di luar kekuasaan agar bersabar menunggu mekanisme pemilu sebagai siklus untuk perubahan kekuasaan.
Cak Nur seperti cendikiawan bersih dan bermoral lainnya menyadari benar bahwa proses demokrasi harus berjalan baik. Resiko politik dan sosial sangat mahal jika menghentikan kekuasaan di tengah jalan apalagi jika tidak ada alasan rasional maupun normatif.
Saat ini Indonesia sudah masuk katagori negara yang sudah menjalankan demokrasi dengan baik. Memang diakui masih ada kekurangan di sana sini. Ini wajar saja. Apalagi seperti kata Cak Nur praktis Indonesia baru belajar demokrasi yang sesungguhnya sejak era reformasi melalui Pemilu tahun 1999.
Masih sangat muda, baru sekitar 21 tahun demokrasi tumbuh di negeri ini. Bandingkan dengan negara yang dikenal sebagai kampiun demokrasi, Amerika Serikat. Perlu waktu lebih 200 tahun untuk sampai pada demokrasi relatif mapan. Itupun sampai hari ini masih terus mengalami riak-riak yang mewarnai setiap penyelenggaraan Pemilu.
Demokrasi Indonesia yang masih belia ini masih berproses. Dan melihat dinamika demokrasi negeri ini walau masih belia dengan segala kekurangan yang ada sudah mendapat apresiasi dunia.
Rasanya aneh jika demokrasi yang sudah berjalan baik dengan keterwakilan kekuatan politik relatif berimbang tiba-tiba ada yang berteriak terjadi oligarki pada pemerintah sekarang. Sebuah pernyataan tanpa dasar yang sangat jauh dari rasional. Ibarat suara tong kosong yang hanya nyaring bunyinya.
Pemerintah Presiden Jokowi sekarang justru disebut sangat merepresentasikan kekuatan politik negeri ini. Bukti riilnya sangat jelas dengan keberadaan Prabowo Subianto yang menjadi lawan saat Pilpres, duduk bersama dalam pemerintahan.
Betapa Presiden Jokowi berjiwa besar dengan mengajak lawan politik di masa Pilpres untuk bersama-sama membangun Indonesia. Demi persatuan dan kesatuan bangsa Presiden Jokowi berbesar hati mengajak Prabowo Subianto bergabung dalam pemerintahan.
Lawan politik selama Pilpres diajak bergabung dalam pemerintahan. Terwujud koalisi luar biasa. Apa yang begini disebut oligarki? Mengutip komedian Cak Lontong: mikir!
*Ketua Badan Anggaran DPR RI