Oleh : Miqdad Husein
“Terus terang, jangan dianggap remeh gerakan ini,” kata pemrakarsa dan tokoh utama Koalasi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Din Syamsuddin.
Mantan Menteri Kehutanan MS Ka’ban juga menyampaikan hal senada. “Saya betul-betul mengingatkan jangan anggap remeh, terhadap apa yang diperjuangkan gerakan moral oleh KAMI ini,” kata ketua Presidium Majelis Permusyawaratan Pribumi Indonesia (MPPI) itu.
Dua tokoh itu agaknya khawatir apa yang diteriakkan gerakan KAMI tak mendapat perhatian. Khawatir dianggap angin lalu entah oleh siapa.
Ada nuansa ketakyakinan sehingga merasa perlu mengingatkan agar diperhatikan. Agar dianggap sebagai sesuatu yang tidak remeh remeh.
Bisa jadi juga pernyataan itu seperti desakan agar diperhatikan. Agar direspon secara serius.
Baik permintaan agar diperhatikan maupun yang bernuansa desakan sebenarnya menjelaskan bahwa KAMI ingin ‘dianggap’ ada. Sebuah gambaran bahwa yang diteriakan bukan sesuatu sangat luar biasa. Atau bisa jadi sebenarnya memang jauh dari kebenaran dan tidak penting.
Jika KAMI merasa dan berpikir yang dilakukan bernilai penting tak perlu berteriak ‘jangan dianggap remeh.’ Otomatis siapapun akan memperhatikan. Jadi, baik penting maupun remeh sepenuhnya tergantung subtansi dan kebenarannya.
Siapapun tak perlu meminta perhatian jika memang menarik. Tanpa meminta perhatian pun jika memang menarik, memiliki dasar kebenaran, bernilai penting atau secara faktual lebih penting dari berbagai hal penting, dijamin diperhatikan.
Ini sebenarnya aksiomatik. Ketertarikan dan perhatian secara alami berproses berdasarkan prioritas kepentingan. Ketika misalnya, masyarakat sedang kelaparan jangan memperjuangkan pemenuhan kebutuhan baju. Apalagi akurasi data kebutuhan baju lemah. Tidak terbukti. Sudah tentu akan kurang diperhatikan.
Sekarang ini masyarakat berjibaku menghadapi wabah Covid-19 dan segala dampaknya, tiba-tiba dimunculkan persoalan politik kekuasaan. Sudah pasti masyarakat kurang peduli. Konsentrasi masyarakat akan terfokus pada masalah utama yang sedang dihadapinya.
Masyarakat mengetahui akibat pandemi Covid-19 ini negara di seluruh dunia mengalami kontraksi minus, ekonomi menurun. Eh tiba-tiba ada yang menjualnya sebagai senjata politik. Tentu tak akan menarik perhatian. “Mereka tahu semua ekonomi negara-negara di dunia ambruk, kok tiba-tiba berteriak lantang mempertanyakan kondisi ekonomi nasional. Piye toh. Semua negara kelabakan menghadapi penurunan pertumbuhan ekonomi kok KAMI menyinggung soal politik kekuasaan,” tutur seorang netizen.
Berbagai komentar sinis dari pembaca terhadap berita aksi KAMI bertebaran. Hampir 100 persen komentar pembaca berita terkait KAMI di web terkemuka bernada negatif. Sinis.
Seorang kader Muhammadiyah mengaku sedih dan tak tega membaca komentar terhadap tokoh utama KAMI. “Sedih sekali. Semua komentar bernada sinis dan mempertanyakan, mengapa ketika masyarakat sibuk mengatasi Covid-19 bukannya ikut membantu malah ngerecoki,” katanya.
Nuansa menyesalkan yang lebih banyak terpapar. Pemberitaan pun hanya menempatkan selintas dengan durasi pendek. Media merasa persoalan penanganan Covid-19 dan dampaknya yang luar biasa lebih penting mendapat kolom lebih luas.
Tak aneh jika soal KAMI seperti lintasan sesaat saja. Sekedar numpang lewat. Jadi, alih-alih diperhatikan dan dianggap penting malah menuai sinis.
“Hari gini bicara kekuasaan? Ketika masyarakat dan terutama tenaga medis, sedang berjibaku mengadu nyawa, jelas sangat tidak elok. Kritik konstruktif, memberikan masukan dan ikut bahu membahu, mutlak lebih penting dan dibutuhkan masyarakat negeri ini. Bukan kegaduhan sisa-sisa Pilpres….”
Demikian sebagian besar tanggapan. Itu pun jika ada.