Oleh: Miqdad Husein
Herman Cain adalah ironi tragis di masa pandemi Covid-19. Mantan kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Republik itu meninggal dunia karena terinfeksi virus corona.
Tentu, bukan terinfeksi virus Corona yang membuat kematian politisi Partai Republik itu mendapat perhatian masyarakat dunia. Siapapun tanpa pandang bulu dapat kehilangan nyawa karena virus yang sampai sekarang belum ada obat dan vaksin yang mumpuni.
Kematian Herman Cain menjadi perhatian karena sepak terjangnya menyikapi pandemi Covid-19. Ia seperti Donald Trump tak mau memakai masker seperti anjuran WHO dan hampir seluruh tenaga medis di dunia. Dalam berbagai kesempatan Cain demikian percaya diri tanpa masker. Dia dikenal sangat vokal terhadap penentangan pemakaian masker terutama saat acara peringatan kemerdekaan AS di Mount Rushmore.
Sebelumnya, seorang pria bernama Richard Rose yang merupakan mantan tentara Amerika Serikat mengalami nasib serupa. Ia meninggal dunia karena tindakannya yang kekeh menolak penggunaan masker hingga terinfeksi virus Corona.
Seperti Herman Cain, sosok berpenampilan gagah ini bersikeras menolak memakai masker. Bahkan dengan gagah mengkampanyekan gerakan anti masker. Sebuah sikap bukan hanya memperlihatkan ketakpedulian pentingnya masker. Ia menantang, memprovokasi orang lain bertindak konyol seperti dirinya.
Koleganya Herman Cain yang kini menjabat sebagai Presiden AS, Donald Trump sebenarnya bersikap sama. Trump kadang memberi bumbu bernada rasis terhadap pandemi dengan selalu menyebut Corona sebagai virus Cina. Sebuah olok-olok di tengah perang dagang AS versus Cina.
Meninggalnya tokoh dunia di pentas politik yang sudah berpredikat sebagai pemimpin itu memberi pelajaran berharga, terutama untuk siapapun yang kebetulan berperan sama, menjadi publik figur. Ia menjadi contoh buruk tentang bagaimana menyikapi pandemi. Ia juga -seakan- memberi keseimbangan dengan contoh yang baik bahwa apa yang dilakukannya ternyata salah.
Tindakan salah itulah pelajaran terbaik bagi siapapun. Terutama bagi mereka yang ditakdirkan berada pada posisi yang mudah ditiru siapapun.
Terasa aneh ketika dunia secara bersama-sama melalui WHO mengkampanyekan pemakaian masker untuk memutus penyebaran virus Corona ada sosok macam Donald Trump, Herman Cain. Terutama Trump yang Presiden AS seharusnya menjadi figur yang diharapkan makin mendorong pemakaian masker. Eh, malah justru bersikap menolak walau belakangan mulai mengendorkan sikapnya.
Trump dan para tokoh lain para penantang masker dengan tindakannya telah menjerumuskan orang lain. Mereka yang secara emosional menganggapnya sebagai pemimpin sekurangnya tergoda mengikuti. Atau sekurangnya jadi ragu memakai masker.
Masker memang tidak menjamin seratus persen seseorang aman dari terinfeksi Covid-19. Tetapi memakai masker sebuah ikhtiar ketika obat dan vaksin masih belum meyakinkan. Semua sedang ikhtiar.
Jelas terlihat konyol ketika hampir seluruh tenaga kesehatan dan yang bertanggungjawab terhadap kesehatan bekerja keras ada segelintir orang menantangnya. Apalagi mereka termasuk memiliki kekuatan pengaruh sosial. Sangat berbahaya.
Mungkin saja seseorang tak setuju memakai masker karena keyakinannya. Atau karena berpikir masker jauh dari meyakinkan. Seharusnya, bukan menantang pemakaian masker tetapi menawarkan cara lain yang lebih baik. Atau paling tidak, diam.
Ketika sebuah cara mengatasi masalah belum berhasil efektif, jangan menantangnya. Berikan alternatif lain. Dan jika belum ada, bersikap diam jauh lebih baik.
Berikhtiar terus mencari cara paling efektif solusi memutus pandemi Covid-19 merupakan sikap paling rasional dan bijaksana. Berikan dukungan pada cara yang tersedia dengan terus mencari yang terbaik. Bukan malah menantang dan sama sekali tak menawarkan alternatif.
Jangan menghalangi orang lain memakan singkong ketika tak bisa menyediakan roti dan keju. Jelas jauh lebih baik makan singkong yang ada di depan mata dibanding berhayal roti dan keju. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.