Oleh: Miqdad Husein
Perjalanan dari Madiun ke Pacitan menuju Pantai Watu Karung sangat ditemui SPBU. Setiap pengendara mobil perlu bersiap mengisi BBM jika akan melewati jalur itu.
Ketakadaan SPBU bisa dipahami. Jalan yang sudah relatif baik kondisinya memang kurang memungkinkan dibangun SPBU. Satu jalan berbukit sisi lainnya sungai, jurang bebatuan. Sulit berharap investor untuk membangun SPBU di jalur itu. Perlu investasi sangat besar terkait penyiapan areal.
Hampir tak adanya SPBU tentu membuat masyarakat yang melalui jalan ketar ketir. Baik terkait untuk memenuhi kebutuhan BBM maupun tempat beribadah, kamar kecil, restoran dan lainnya.
Kebutuhan BBM mungkin bisa disiapkan dari sejak awal. Namun soal kamar kecil misalnya agak sulit diatur waktunya. Nah disini bisa timbul masalah jika tiba-tiba pengguna jalan ingin buang air kecil maupun air besar. Untuk yang bisa sedikit cuekpun jika nekat berhenti di sembarang tempat akan sulit. Baik karena kiri kanan bukit dan sungai, jurang maupun terbatasnya lebar jalan sehingga parkirpun sulit. Bisa dibayangkan jadi perjalanan macam apa.
Kondisi yang tergambar sangat tidak menyenangkan itu ternyata tercium oleh masyarakat terutama tokoh agama. Mereka kemudian berinisiatif mendirikan toilet yang memadai, tak jauh dari mushollah atau masjid. Sepertinya sengaja dipisahkan untuk memberi kesempatan kepada siapapun termasuk yang tak memiliki hubungan dengan tempat ibadah.
Menarik mencermati tokoh agama yang berinisiatif menyediakan kebutuhan penting itu. Apalagi ketika ketersediaan memenuhi hajat yang tak bisa ditunda itu berbeda dengan yang ada di terminal maupun SPBU yang biasanya mencantumkan tarif. Untuk kebutuhan membersihkan dan merawat kamar kecil hanya ada kotak tanpa ada penjaga.
Di sini tampak jelas semangat berhikmat dari tempat ibadah untuk melayani kebutuhan masyarakat tanpa memandang latar belakang agamanya. Posisi kamar kecil sengaja terpisah dari tempat ibadah sehingga siapapun dapat memanfaatkan.
Tuhan hadir di sini menebarkan keramahan dan semangat pelayanan. Kesadaran ketuhanan diwujudkan dalam tata laku sosial melayani kebutuhan masyarakat, tanpa kecuali. Semangat rahmatan lil alamin sangat terasa, tanpa kata-kata bombastis.
Demikian seharusnya sebuah tempat ibadah di tengah masyarakat. Kesadaran keimanan dalam wujud peribadatan sah saja bersifat personal sejalan kaidah ibadah formal. Namun pada tataran kehidupan sosial sekat-sekat personal mencair mewujud kegairahan saling peduli dan melayani.
Tamu Allah yang datang menjalin komunikasi melalui peribadatan dan mereka yang sekedar lewat berada di teras, semua mendapat jamuan pelayanan sama pada tataran sosial.
Seperti pernah dilontarkan seorang kawan, siapapun yang datang ke rumah Allah, yang berada di dalam maupun yang hanya sekedar melintas di teras perlu mendapat jamuan terbaik: kedamaian dan keramahan. “Tamu Allah, di rumah Allah harus dilayani dan dijamu sebaik-baiknya,” katanya.
Jadi, katanya lagi, jangan merasa menjadi penjaga rumah Allah kalau belum bisa memberikan pelayanan terbaik kepada siapapun yang bertamu, berkunjung ataupun yang hanya selintas melintas.
Jangan membawa atau mengatasnamakan Tuhan jika yang dikedepankan amarah dan kebencian. Rahman dan rahim Tuhan jauh melampaui kemarahanNya.