Oleh: Miqdad Husein
Membaca sepak terjang M. Din Syamsuddin belakangan ini membuat alis terangkat, bertanya-tanya. Sangat mengherankan! Apa sebenarnya yang diinginkan dengan berbagai narasi ingin menyelamatkan negeri ini melalui Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Apalagi bila dikaitkan posisi Din Syamsuddin sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI.
Di MUI Din Syamsuddin sudah pasti bertemu Ketua Umum MUI KH. Ma’ruf Amin yang saat ini menjadi orang kedua di Republik. Bukankah jalan terbuka lebar jika ingin memberikan berbagai masukan kepada pemerintah.
Posisi keduanya di MUI dapat lebih membuka ruang dialog tentang persoalan bangsa. Din yang berlatar belakang Muhammadiyah, yang memiliki tradisi berdiskusi tanpa gaduh seharusnya lebih mampu menahan diri untuk tidak berteriak di luar serta mengedepankan perdebatan indoor.
Posisi kolega Din di MUI, Kiai Ma’ruf Amin yang kini juga berada dijajaran pemerintah seharusnya makin mempermudah penyampaian pemikirannya. Posisi keduanya yang cukup penting di MUI apalagi salah satu berada di pemerintahan dengan posisi juga sangat strategis, aspirasi apapun jika demi kepentingan bangsa diyakini mudah terakomodir.
Jelas di sini jika dibanding berteriak di jalanan posisi Din Syamsuddin ditambah ketokohannya sebagai mantan Ketua Umum Muhammadiyah jauh lebih memiliki kekuatan pressure kepada pemerintah. Posisi dan peran Din serta sosok ketokohannya paket komplit politik.
Karena itu terasa aneh ketika Din Syamsuddin masih mencari jalur lain bernama KAMI bersama-sama tokoh yang sebagian disebut-sebut barisan sakit hati. Di MUI dan ketokohannya sebenarnya dari kalkulasi kekuatan pressure jauh lebih memiliki peluang untuk menyampaikan “penyelamatan” bangsa Indonesia.
Satu lagi, bukankah Din Syamsuddin pernah menjadi bagian dari pemerintah Presiden Jokowi ketika menempati posisi sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog Antaragama dan Peradaban. Itu artinya ada jalur tol yang luar biasa untuk menyampaikan berbagai pemikiran kepada Presiden Jokowi.
Makin menimbulkan pertanyaan lagi jika mencermati komentar Din soal pemakzulan Presiden Jokowi saat Webinar beberapa waktu lalu. Komentar itu jauh dari kelaziman dan karakter serta watak Muhammadiyah yang sangat menghormati proses demokrasi serta selalu menghindari kegaduhan.
Rekam jejak Din Syamsuddin sebagai intelektual, mantan Ketua Umum Muhammadiyah serta posisinya saat ini sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI pilihan berteriak di jalanan benar-benar super ironis. Mirif ketika beberapa anggota DPR berdemo menyalurkan aspirasi. Atau seperti seorang hakim berdemo menuntut keadilan.
Dengan posisinya saat ini Din Syamsuddin bisa menyampaikan dan bahkan langsung berperan memperbaiki bangsa. Jalur penyampaian aspirasi punya, posisi dengan gerbong MUI bisa berbuat jauh lebih banyak untuk memperbaiki negeri ini. Ketokohannya yang memegang berbagai jabatan strategis baik di dalam negeri dan luar negeri sungguh sangat dasyat. Mengapa masih perlu kekuatan bernama KAMI?
Atau Din Syamsuddin ingin tampil sebagai politisi? Jalan inipun sangat terbuka. Kedekatan PAN dan Muhammadiyah menjadi garansi Din relatif mudah menempati posisi penting bahkan puncak. Atau, kedekatan Din dengan Prabowo dan Fadly Zon juga bisa jadi kartu spesial berada di jajaran elit Gerindra. Bahkan jika ingin mendirikan partaipun diyakini bukan sesuatu yang sulit bagi Din untuk membangun infrastruktur partai ke seluruh Indonesia. Jaringan dan link Din diakui oleh siapapun. Makin membingungkan bukan, jika menyaksikan pilihan sepak terjangnya belakangan ini.
Ketika demokrasi dan kedamaian relatif telah berjalan baik walau masih ada kekurangan di sana sini menempuh pemikiran dan sikap menghentikan hasil proses demokrasi di tengah jalan sangat jelas bukan pilihan arif dan bertanggungjawab. Terlalu mahal cost yang harus dibayar yaitu perang saudara yang dapat meneteskan darah dan air mata serta luka yang bisa jadi perlu puluhan tahun untuk menyembuhkannya. Ayolah belajar dari Suriah. Tak perlu bikin gaduh.