Oleh: MH. Said Abdullah*
Idul Adha tahun ini seperti diberitakan berbagai media meninggalkan kesan mengejutkan. Bukan terkait pelaksanaan ritual tahunan ummat Islam seperti sholat dan ibadah kurban. Idul Adha ternyata menciptakan efek kejut ketika tanpa terduga menjadi momentum mudik relatif ramai hingga menimbulkan kemacetan cukup parah.
Disebut tak terduga karena praktis jauh dari hingar bingar mudik seperti hari raya Idul Fitri. Tiba-tiba sehari sebelum Idul Adha kemacetan terjadi sangat luar biasa. Jalan tol ke arah Timur maupun Bandung, serta ke arah Merak mengalami kemacetan. Perjalanan ke Bandung dari Jakarta yang biasanya ditempuh sekitar dua jam karena kemacetan panjang harus ditempuh lebih dari enam jam.
Pemberitaan memang terasa biasa karena media -kecuali media sosial- seperti kurang memperhitungkan. Radio Elshinta melalui seorang pendengarnya sempat memberitakan kepadatan lalu lintas arus balik pada hari ketiga Idul Adha. Dari arah Tegal sampai Jakarta bahkan ke arah Merak mobil bergerak sangat lambat, dalam kisaran kecepatan 20 sampai 30 kilometer perjam.
Kondisi pada momen Idul Adha di jalan tol dan arteri ini menyampaikan pesan penting dari aspek kesehatan terutama terkait pandemi Covid-19. Diakui atau tidak pergerakan masyarakat dalam jumlah sangat besar terutama dari Jakarta ke berbagai daerah perlu menjadi perhatian aparat pemerintah daerah.
Sulit mengingkari dan mengabaikan alarm bahaya penyebaran Covid-19 ke berbagai daerah. Penyebaran masyarakat dari episentrum Covid-19 Jakarta ke berbagai daerah karenanya perlu segera diantisipasi sangat serius melalui berbagai upaya keras penerapan protokol Covid-19.
New normal memang telah menjadi bagian keseharian masyarakat terutama yang berada di zona merah. Tentu saja diharapkan pola hidup baru ini terus diterapkan masyarakat dari zona merah ketika bermudik ria ke berbagai daerah sehingga tidak menyisakan penyebaran nestapa.
Selain menyimpan kekhawatiran terkait kesehatan, mudik dan arus balik ‘dadakan’ menyampaikan pesan penting tentang perkembangan ekonomi. Pergerakan masyarakat yang luar biasa itu dapat menjadi potensi mendorong dinamika ekonomi terutama di daerah tujuan. Menjadi secercah cahaya di tengah kesuraman ekonomi akibat pandemi.
Pandemi Covid-19 seperti diakui telah merontokkan ekonomi di seluruh dunia. Negara sehebat apapun terpuruk ekonominya. Berbagai lembaga dunia sudah menghitung kontraksi ekonomi dunia turun dalam kisaran minus 7-8 persen.
Daya beli masyarakat turun drastis. Pariwisata menjadi sektor paling terpukul dampak pandemi. Hotel-hotel satu persatu melangkah menuju kebangkrutan. Ini realitas di dalam negeri dan seluruh pariwisata dunia.
Aktivitas mudik memang tidak serta merta mengembalikan kondisi ekonomi. Namun sentuhan mudik dapat menjadi energi awal untuk menggerakkan ekonomi nasional.
Pergerakan masyarakat melalui aktivitas perbelanjaan tentu menyentuh simpul-simpul stagnasi ekonomi terutama di berbagai daerah. Pariwisata walau hanya tersapa selama tiga hari namun telah mencipratkan embun kesegaran. Seakan membangkitkan dari siuman karena terlalu lama jauh dari pasokan energi.
Realitas ini mungkin agak kurang diperhitungkan karena tenggelam persoalan pandemi Covid-19. Padahal walau selintas diharapkan dapat menjadi stimulus pergerakan ekonomi di daerah. Bahkan diharapkan menjadi pemicu awal perputaran roda ekonomi nasional.
Tentu, situasi pandemi Covid-19 tetap perlu mendapat perhatian di tengah titik terang tanda-tanda perkembangan ekonomi yang perlahan mulai bergerak. Artinya, ikhtiar keras merecovery ekonomi bagaimanapun harus mewaspadai pandemi Covid-19 yang kurvanya belum memperlihatkan penurunan.
Perahu ekonomi harus diupayakan berjalan dengan tetap penuh kehati-hatian. Ya, seperti mendayung di tengah karang bernama pandemi Covid-19. [*]
*Ketua Badan Anggaran DPR RI