Oleh: MH. Said Abdullah*
Tidak perlu bekal sangat cerdas untuk memahami kondisi dan situasi ekonomi yang mengalami kontraksi minus sekitar 5,32 persen. Ini realitas empirik yang menegaskan bahwa Indonesiapun akibat pandemi Covid-19 merasakan resesi. Sebuah kenyataan riil yang harus diterima walaupun pahit.
Menerima kenyataan tentu saja tidak berarti pasrah dan kemudian membenamkan diri dalam kubangan pahit. Kesadaran terhadap kondisi ekonomi negeri ini hendaklah menjadi semacam pemahaman tentang peta persoalan lalu kemudian berusaha keras agar segera lepas dari himpitan yang jauh dari menyenangkan itu.
Mengingkari melalui retorika indah bukan masanya di era keterbukaan luar biasa ini. Pemerintah dan DPR telah secara terbuka memaparkan kepada masyarakat luas, dunia usaha dan bahkan Bank Dunia tentang kondisi riil ekonomi Indonesia. Melalui sikap terbuka itu, terutama untuk masyarakat di dalam negeri, diharapkan bangkit kebersamaan dan persatuan agar menjadi energi besar menghadapi tantangan krisis.
Baik kekuatan partai politik yang berada dalam barisan pemerintahan maupun di luar pemerintahan demikian pula yang berada di DPR sudah pasti telah menyadari dan memahami terang benderang kondisi, jelaga dan kendala ekonomi nasional. Sementara, mereka yang berada di luar institusi resmi, walau sedikit, masih ada yang menjadikan krisis global ini sebagai amunisi politik. Sebuah perilaku yang jauh dari kearifan karena secara tak langsung seperti menari di atas nestapa dan penderitaan rakyat.
Secara akal sehat, dalam kondisi sekarang ini seluruh kekuatan bangsa seharusnya bahu membahu untuk mengatasi krisis ekonomi. Bukan malah menjadi batu kerikil yang mengganggu berbagai ikhtiar keras pemerintah. Paling tidak, berikan masukan konstruktif atau lebarkan sayap pengawasan terhadap berbagai langkah pemerintah.
Mereka melalui informasi dan komunikasi makin terbuka sekarang ini mengetahui bahwa serangan wabah Covid 19 telah menyebabkan terjadinya disrupsi pada aktivitas ekonomi di sektor riil maupun keuangan, memukul baik individu (demand) hingga dunia usaha (supply) hampir seluruh negara di dunia.
Aktivitas manufaktur dan jasa di berbagai negara terkontraksi cukup dalam. Data composite index, yang merupakan indeks gabungan kondisi sektor riil, sektor keuangan dan indikator kepercayaan, serta confidence index global, yang merupakan indikator keyakinan pelaku usaha dan konsumen atas kondisi ekonomi global, menunjukkan indikasi pemburukan ekonomi mulai dari triwulan I hingga triwulan II. Bahkan Purchasing Manager Index (PMI) Global berada pada titik terendah dalam beberapa dekade terakhir.
Secara faktual satu per satu negara di dunia sudah mengumumkan kondisi ekonominya pada Triwulan II 2020. Pertama kali Singapura mengumumkan kondisi ekonominya masuk ke jurang resesi di kuartal II-2020. Ekonomi Singapura terkontraksi 41,20 persen, setelah pada kuartal I tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Singapura mengalami kontraksi hingga 2,20 persen.
Negara Asia lainya yang juga sudah mengumumkan memasuki masa resesi adalah Korea Selatan (Korsel). Perekonomian Korsel di kuartal II tahun 2020 menyusut 3,30 persen. Setelah pada kuartal I terkontraksi 1,40 persen. Ekonomi Jerman pada kuartal II tahun 2020 kembali mengalami kontraksi sebesar 10,10 persen. Pada kuartal I tahun 2020 terkoreksi 2,20 persen. Ekonomi Amerika Serikat (AS) terkoreksi cukup dalam pada kuartal II tahun 2020 negatif 32,90 persen.
Fakta-fakta dunia itu seharusnya menjadi referensi bahwa kondisi ekonomi nasional yang mengalami kontraksi minus 5,32 persen masih jauh lebih baik dibanding negara-negara lain. Artinya, walaupun kondisi ekonomi sulit masih perlu disyukuri karena belum separah negara lainnya.
Soal resesi seharusnya jangan dipandang berlebihan seakan momok menakutkan. Padahal ini semata teknis ekonomi dimana selama dua triwulan (April sampai September selama 6 bulan dan dihitung per 3 bulan ) ekonomi mengalami konstraksi minus pertumbuhan. Namun yang sering dilupakan bahwa telah berlangsung usaha, upaya serta ikhtiar oleh pemerintah untuk recovery starts pemulihan ekonomi sehingga diharapkan pada awal oktober atau triwulan keempat Indonesia sudah bisa keluar dari resesi.
Kehidupan masyarakat negeri ini yang memulai kehidupan baru, new normal ditambah berbagai bantuan sosial pemerintah serta stimulus fiscal lainnya, diharapkan dapat mengurangi dampak resesi. Namun demikian secara khusus perlu ada upaya ekstra untuk lebih mengintensifkan pemutusan pandemi Covid-19 di beberapa daerah yang memiliki konstribusi signikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebut saja DKI Jakarta 18% PDB, Jatim 14,9% PDB, Jabar 13,4% PDB, Jateng 8,6% PDB dan Sulsel 3,2% PDB. Daerah-daerah itu yang masuk kawasan pandemi covid-19 relatif tinggi totalnya memasok 58,1% PDB. Nah di sini penting baik pemerintah maupun pemerintah daerah harus fokus pada pengendalian covid-19, melalui upaya mendisiplinkan protokol Covid-19 pada semua tempat tanpa ada tolerensi dan terus meningkatkan test, tracing dan isolation. Sebab bila kawasan ini terus terpukul, maka besar kemungkinan kontraksi ekonomi makin dalam.
Resesi ekonomi adalah realitas yang terbentang di depan mata. Dengan kesungguhan seluruh potensi negeri ini, melalui upaya keras mengatasi pandemi Covid-19 serta konsistensi melaksanakan seluruh kebijakan pemerintah, diyakini negeri ini dengan konstraksi ekonomi yang jauh lebih kecil dari negara lain, akan dapat segera ke luar dari krisis. Ayo berusaha dan kerja keras. [*]
*Ketua Badan Anggaran DPR RI