SUMENEP, koranmadura.com – Para petambak garam di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, sejak beberapa waktu lalu sudah mulai panen.
Hal tersebut harusnya menjadi kondisi menggembirakan bagi para petambak. Sebab mereka sudah mulai bisa menikmati hasil kerja kerasnya.
Namun kondisi berbeda tampaknya mulai dirasakan para petambak. Mereka mulai waswas hasil produksinya tak terserap. Sebab masih ada sekitar seratus ribu ton garam petambak belum terjual.
“Garam hasil produksi petambak yang belum terserap sekitar 100 ribu ton. Itu garam hasil produksi tahun 2018 dan 2019,” tutur Ketua Asosiasi Petambak Garam (APG), Abdul Hayat, Kamis, 27 Agustus 2020.
Sementara itu, pria yang akrab disapa Ubed ini menuturkan bahwa hasil produksi garam petambak tahun ini sudah sekitar seribu ton, dan ke depan diprediksi akan terus bertambah.
Hanya saja, di tengah kondisi yang seperti itu, hasil produksi garam yang kian menumpuk, harga garam justru tidak sesuai harapan. Menurut dia, saat ini harga garam di tingkat petambak hanya di kisaran Rp 300 ribu per ton untuk KW1 dan Rp. 200 ribu per ton untuk KW2.
“Harga segitu itu masih kotor. Sebab masih harus dipotong untuk biaya transportasi dan lain-lain,” paparnya.
Kondisi tersebut diperparah oleh minimnya serapan garam oleh perusahaan. Bahkan perusahaan garam besar yang semestinya menyerap garam hasil produksi petambak, sejauh ini belum melakukan penyerapan.
Menurutnya, di Sumenep hanya ada beberapa perusahaan yang konsisten melakukan penyerapan. Itu pun terbatas. Sehingga masih banyak stok garam petambak belum terserap.
Untuk itu dia berharap pemerintah segera mencari solusi agar garam rakyat bisa terjual dengan harga sesuai harapan. Sehingga nasib para petambak bisa lebih baik ke depan.
“Saat ini kami sedang berjuang bersama petambak garam agar garam masuk ke bahan pokok. Sehingga nanti pemerintah bisa menetapkan HPP (harga pokok penjualan),” tambahnya. FATHOL ALIF/ROS/VEM