Oleh: MH. Said Abdullah*
Pekan lalu, paling tidak ada dua peristiwa tindak kekeraan di dalam masjid. Pertama, penikaman di Bandar Lampung, kepada Syekh Ali Jaber; sosok sangat populer di tengah masyarakat. Kedua, penikaman seorang iman masjid bernama Muhammad Arif, di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan.
Dua peristiwa berbeda itu sempat menarik perhatian masyarakat, termasuk Netizen di berbagai media sosial. Media sosial tumpah ruah dua berita dan komentar tentang tindakan kerasan di tempat ibadah itu.
Hilir mudik berita yang beredar di media sosial, seperti biasa tidak jelas sumbernya dan ada kecenderungan bias terutama dalam penyajian. Jangan berharap konsepsi berimbang, cover both side. Yang lebih terlihat kecerobohan data dan bahkan kosa kata.
Pada kasus kedua, penikaman imam hampir jelas motifnya yaitu adanya dugaan unsur kekecewaan pribadi dari pelaku. Penikam disebut tersinggung ketika diminta kunci kotak amal masjid. Ketersinggungan kemudian memuncak membuat tersangka melampiaskan kemarahan kepada imam Muhammad Arif.
Sekalipun lebih memperlihatkan kejelasan, kasus kedua ini tetap menjadi bola liar. Sempat beredar berbagai spekulasi yang mengkaitkan dengan peristiwa pertama disertai bumbu-bumbu aroma politik. Namun, berkat kecepatan aparat serta kejelasan pemberitaan media, kasus kedua relatif jauh dari menimbulkan kegaduhan. Umat bahkan memperlihatkan rasa prihatin ketika mengetahui lebih rinci kasus yang melatarbelakangi tindakan kekerasan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Kasus penikaman Syekh Ali Jaber menarik perhatian karena sosok korban yang sangat dikenal masyarakat luas sebagai dai. Sebagian umat Islam mengenal Ali Jaber sebagai dai yang selalu muncul di layar televisi sehingga wajar saja, jika penikaman menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat, terutama kalangan umat Islam.
Momen acara pengajian ketika terjadi tindakan kriminal penikaman semakin melengkapi kehebohan. Darah mengucur dari lengan Ali Jaber seakan minyak yang membangkitkan kekesalan dan bahkan kemarahan sebagian umat Islam.
Mulai muncul spekulasi –seperti biasa- beredar di medsos. Yang paling terlihat muncul opini seakan resmi dari aparat kepolisian bahwa yang menikam sakit jiwa. Nah, sakit jiwa inilah yang kemudian diolah dan dianggap sebagai bagian dari rekayasa – tudingan tanpa dasar- kemudian mengarah kepada pemerintah Presiden Jokowi.
Masih belum selesai pada tudingan pemerintah Jokowi. Seperti biasa muncul pula opini liar bahwa tindakan kekerasan terkait bangkitnya PKI. “Pasti ini kelakuan antek PKI. Siapa lagi yang memusuhi ulama kalau bukan PKI,” demikian antara lain opini liar yang beredar di tengah masyarakat. Berbagai sumpah serapah kemudian mengalir deras. Aroma dan nuansanya jelas terasa sisa-sisa Pilpres 2019.
Tumpah ruah berbagai opini negatif mengarah kepada pemerintah Presiden Jokowi. Sebuah pengkaitan jauh dari rasional dan sangat terasa kental emosionalnya. Lagi-lagi pembelajaran betapa politik identitas meninggalkan keterbelahan relatif lama.
Menarik menelisik kejadian penikaman Syekh Ali Jaber terutama bila membaca rentetan opini yang beredar pasca kejadian. Tampak jelas ada upaya mengadu-aduk emosi umat dengan berbagai opini menyesatkan seperti PKI, rekayasa pelaku ternyata orang gila, bentuk kebencian pemerintah kepada umat Islam dan lainnya.
Peredaran opini menyebut pelaku orang sakit jiwa seakan-akan penjelasan resmi dari aparat kepolisian merupakan salah satu indikasi nuansa untuk adu domba masyarakat. Padahal, aparat kepolisian masih meminta Tim RS Lampung untuk meneliti kejiwaan pelaku.
Penyebutan pelaku sakit jiwa seakan dari kepolisian sangat jelas mengarahkan kasus seakan tindakan kekerasan merupakan rekayasa pemerintah yang dianggap membenci ulama. Pemerintah di sini dianggap anti Islam lalu melakukan tindakan kekerasan kepada ulama. Pelakunya, direkayasa sebagai orang sakit jiwa.
Terlihat jelas upaya menciptakan kegaduhan. Lebih terlihat jelas lagi ketika dicermati tindakan penikaman yang berlangsung di tempat terbuka dalam acara pengajian. Sasarannya ustad atau dai.
Sebuah hoaks sengaja disebarkan untuk memanaskan suasana di tengah berita penikaman Syekh Ali Jaber. Disebutkan bahwa, seorang ustadz berinisial AK di Babakanmadang, Kabupaten Bogor dikabarkan meninggal dunia setelah babak belur dikeroyok orang tak dikenal sepulang dari pengajian. Setelah diteliti aparat kepolisian ternyata hoaks.
Secara akal sehat, seseorang yang berniat membunuh tidak mungkin melakukan secara terbuka. Selalu diam-diam. Melakukan kekerasan secara terbuka bukan mentargetkan pembunuhan tetapi lebih mengarah sebagai upaya menciptakan opini luas bahwa merebak kebencian kepada ulama.
Suasana masyarakat yang saat ini kelelahan karena pandemi Covid-19 memang potensial mudah terseret emosi. Sedikit saja sesuatu yang tak disukai terjadi, apalagi menyangkut masalah keyakinan, akan mudah terjadi ledakan emosi.
Di sinilah penting mencermati bahwa dalam situasi seperti sekarang ini selalu ada kelompok petualang yang ingin menciptakan kekeruhan. Menciptakan kegaduhan dan keributan. Targetnya sudah pasti terjadinya konflik di tengah masyarakat.
Dalam suasana negara seperti negara-negara lain sibuk mengatasi pandemi Covid-19, selalu ada tangan-tangan yang ingin memancing masyarakat agar terjerumus konflik. Sebuah pelajaran berharga perlunya kewaspadaan dan kejernihan pikiran agar jauh dari sikap emosional. (*)
*Ketua Banggar DPR RI.