Oleh: Miqdad Husein*
Gubernur Jakarta Anies Baswedan mulai hari ini, Senin, 14 September 2020 memberlakukan pembatasan sosial berskalah besar (PSBB). Sebuah kebijakan yang praktis kembali seperti masa awal pandemi Covid-19.
Berbagai reaksi keras bermunculan merespon keputusan PSBB. Anies Baswedan dianggap ceroboh serta cenderung mengabaikan masalah secara integral. Keputusan Anies dituding telah menjadi penyebab rontoknya bursa saham dan dinamika ekonomi yang sudah mulai berjalan kembali. Ketua Banggar DPR, MH. Said Abdullah menyebut, keputusan Anies Baswedan membakar duit Rpo 300 triliun dalam waktu sekejap.
Dari iktikad dan tujuan alasan pemberlakuan PSBB memang normatif masuk akal. Anies beralasan karena masyarakat terinfeksi Covid-19 di Jakarta terus meningkat serta kemungkinan penuhnya rumah sakit.
Namun alasan normatif soal kemungkinan penuhnya RS sempat mendapat sanggahan. Menko Erlangga membantah dengan, misalnya menyebut, Wisma Century saja baru berisi 1.600 dari kapasitas 2.700. Kemungkinan pemerintah menyiapkan RS darurat baru juga disinggung Erlangga.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tampaknya sependapat dengan Menko. Ridwan secara terbuka menawarkan bantuan kepada Gubernur Jakarta. Menggunakan bahasa santun, Ridwan menyatakan Jawa Barat siap menyediakan ruang RS.
“Inilah pentingnya kita memahami bahwa menangani Covid-19 jangan dipilah-pilah selalu oleh berdasarkan administrasi atau wilayah politik. Ini sesama manusia, sesama NKRI kita harus kompak. Kurangi kata kompetisi, perbanyak kata kolaborasi, karena kita sama-sama NKRI,” ujar Ridwan menegaskan.
Tak jelas apa maksud Ridwan tentang kata kompetisi. Bisa jadi terkait sinyalemen kecenderungan kepala daerah menjadikan pandemi Covid-19 sebagai panggung politik menghadapi tahun 2024. Sebuah sikap tentu saja -sangat menyakitkan- karena menjadikan penderitaan rakyat sebagai komoditas politik. Sama saja menari di atas nestapa dan derita rakyat.
PSBB sebenarnya merupakan bagian dari upaya memutus pandemi Covid-19. Namun mempertimbangkan dampak dasyat terhadap seluruh kehidupan, pilihan memutuskan PSBB harus diperhitungkan secara matang. Sangat beralasan bila keputusan PSBB di daerah harus dikaji mendalam dan kemudian mendapat persetujuan pemerintah.
Keputusan PSBB Jakarta terbaru sekarang ini memperlihatkan betapa dahsyat dampaknya terhadap aktivitas ekonomi. Index Saham menjadi korban pertama dan bukan hal luar biasa bila merembes terus ke sektor lainnya.
Masyarakat bawah yang baru saja bernafas lega dapat beraktivitas ekonomi di era new normal akan kembali kolap. Dinamika ekonomi yang relatif mulai bangkit dipastikan akan terpuruk kembali.
Kesehatan dan keselamatan memang menjadi prioritas utama. Namun tak boleh menganggap sebelah mata persoalan ekonomi. Ungkapan sarkastis bisa selamat dari Corona dan dapat mati kelaparan merupakan kenyataan yang riil dihadapi masyarakat selama masa pembatasan.
Belajar dari dampak dasyat pemberlakuan pembatasan sebelumnya, seharusnya Anies tidak gegabah menetapkan PSBB. Apalagi dalam kepemimpinan Anies, Jakarta terlihat kurang optimal memobilisasi masyarakat mentaati protokol kesehatan.
Ada baiknya, Anies terlebih dahulu memaksimalkan mesin birokrasi Jakarta serta bertindak tegas kepada masyarakat yang melanggar protokol kesehatan. Termasuk, misalnya tidak keras kepala memaksakan memberlakukan ganjil genap. Perlu bersikap tegas melarang kerumunan seperti demo dan sejenisnya yang potensial menjadi sumber penyebaran Covid-19.
Seorang wartawan meminta, Anies piknik ke daerah pariwisata seperti Bali, Yogyakarta dan daerah lainnya agar melihat dan merasakan dasyatnya dampak pembatasan. Sebuah situasi yang akan terulang, terutama di lapisan bawah masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
New normal sebenarnya memberikan harapan perbaikan ekonomi dengan ‘menerobos’ penurunan pandemi. Namun kelemahan kepemimpinan daerah serta ketakdisiplinan masyarakat justru memicu peningkatan kurva infeksi Covid-19.
Kembali menerapkan kebijakan ke masa awal jelas bukan pilihan rasional. Secara psikologis dapat merontokkan mental recovery kehidupan sosial yang sudah mulai berjalan relatif baik. Apalagi, ketika berbagai upaya belum dilaksanakan optimal terutama terkait penerapan kedisiplinan masyarakat.
Kesehatan dan keselamatan nyawa manusia mutlak penting. Namun kebutuhan ekonomi juga perlu mendapat perhatian. Demikian pula disiplin mentaati protokol Covid-19. Siapapun harus menyadari terutama masyarakat sendiri agar selamat dari Covid-19 dan dapat beraktivitas seperti biasa. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.