Oleh: Miqdad Husein (*)
Tak seorangpun dapat mengingkari fakta bahwa pandemi Covid-19 masih belum memperlihatkan tanda-tanda penurunan. Belakangan bahkan memperlihatkan kenaikan kasus terinfeksi serta jumlah korban meninggal dunia telah lebih dari 10 ribu jiwa di negeri ini.
Kondisi ‘mencekam’ itu memunculkan opini agar kegiatan Pilkada 2020 ditunda sampai ada tanda-tanda penurunan atau jika mungkin terhentinya pandemi. Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di negeri ini secara terbuka telah menyampaikan usulan pada pemerintah agar menunda pelaksanaan Pilkada. Pertimbangannya terutama kepentingan keselamatan rakyat agar terhindar dari terinfeksi Covid-19.
Pemerintah sendiri sampai sekarang melalui Menteri Dalam Negeri masih tetap melanjutkan pelaksanaan Pilkada. Alasan pemerintah memang masuk akal. Pertama, Pilkada tanggal 9 Desember sebenarnya merupakan penundaan dari rencana waktu sebelumnya. Kedua, banyak pemerintah daerah saat ini dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt). Jumlahnya lebih dari separuh daerah keseluruhan pemerintah daerah yaitu 270 Plt, bila Pilkada ditunda.
Secara normatif Plt memang memiliki kewenangan menjalankan pemerintah daerah melanjutkan kepala daerah definitif. Namun tetap Plt memiliki keterbatasan terkait munculnya persoalan baru atau mendesaknya kebutuhan keputusan strategis, yang membutuhkan anggaran besar misalnya. Berbagai regulasi memang memungkinkan Plt menjalankan kewenangan seakan pejabat definitif. Namun tetap saja,sesuai namanya sebagai pelaksana tetap menimbulkan kegamangan serta potensi respon penolakan terhadap keputusannya.
Legitimasi. Itulah persoalan Plt yang paling menimbulkan masalah di tengah masyarakat apalagi di tengah upaya keras mengatasi pandemi Covid-19. Aspeknya sangat kompleks. Tidak hanya menyangkut normatif serta terkait orang perorangan. Ada keterkaitan dengan masyarakat luas di daerah tempat Plt berada. Persoalan politik juga tak kalah mengganggu.
Penunjukkan menjadi faktor psikologis yang membuat Plt seperti kehilangan kekuatan legitimasi. Kegaduhan mudah muncul di tengah masyarakat baik respon penolakan normatif maupun dalam menjalankan kebijakan. Kegaduhan lebih keraa sering muncul bila Plt misalnya, bermain api menunda atau merobah kebijakan kepala daerah definitif atas dasar alasan tertentu.
Faktor gaya kepemimpinan Plt bukan rahasia umum dalam pelaksanaan sering melampaui kewenangan pejabat definitif. Plt selama ini mudah tergoda membuat kebijakan tanpa menyadari batasan terhadap posisinya yang hanya mengemban jabatan sementara. Namun, gaya kerjanya dalam melanjutkan tugas pejabat definitif yang digantinya, Plt tersebut kerap kali melebih pendahulunya alias merasa sejajar tanpa ada batasan antara Pelaksana Tugas dengan yang pejabat definitif.
Undang-undang nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (AP) pasal 14 ayat (7) menjelaskan wewenang Plt maupun PLH. Bunyi dari pasal 14 ayat (7) UU AP itu adalah ‘badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
Sulit mengingkari bahwa posisi Plt dalam jabatan politik seperti kepala daerah dilingkari berbagai potensi masalah. Sekalipun berbagai perangkat hukum memberi pengaturan namun dalam pelaksanaan sulit menghindari munculnya berbagai persoalan. Inilah wilayah politik. Yang berjalan normal saja masih begitu banyak masalah yang muncul, apalagi yang berjalan tidak seperti biasanya.
Lalu, bagaimana menghadapi bahaya penyebaran Covid-19 yang belakangan masih meningkat? Apakah Pilkada berpotensi menjadi cluster baru, yang bersifat massal hingga makin menaikkan kurva peningkatan terinfeksi.
Potensi munculnya kerumunan massa yang biasa mewarnai pelaksanaan pemilihan baik Pileg, Pilpres maupun Pilkada dikhawatirkan banyak kalangan dapat menerobos protokol Covid terutama persoalan jaga jarak. Mereka yang menyarankan ditunda beralasan akan sulit mengendalikan kerumunan massa yang biasa terjadi dalam even seperti Pilkada.
Fakta-fakta dari berbagai pengalaman pelaksanaan even seperti Pilkada memang sulit terbantahkan. Kedisiplinan masyarakat yang masih rendah, baik ada Pilkada maupun tidak, mudah ditemukan dalam kehidupan keseharian di era normal seperti sekarang ini. KPU pun menyadari tentang kekhawatiran pontensi penyebaran covid-19 dan merespon secara aktif terutama sejak rapat dengar pendapat di DPR misalnya melarang konser, bazar yang sebelumnya diizinkan.
Inilah dilema pelaksanaan Pilkada 2020, yang tinggal sekitar dua bulan lagi. Sebuah dilema yang tentu tetap harus ada keputusan. Siapapun harus menerima keputusan serta berusaha semaksimal mungkin mengamankan keputusan itu.
Upaya mengatasi pandemi Covid-19 secara regulasi memang pemerintah yang berwenang mengatur serta bertanggungjawab dalam pelaksanaan, termasuk saat even Pilkada. Namun, penyebaran Covid-19 tetap sangat tergantung kedisiplinan masyarakat sendiri. Sebaik dan setegas apapun aparat pemerintah bertindak tak akan efektif, jika masyarakat sendiri tidak disiplin –menyadari keselamatan dirinya.
Penyebaran Covid sejatinya menyangkut persoalan kedisiplinan diri. Perlu terus ikhtiar mentaati protokol Covid-19 dengan memakai masker, jaga jarak, rajin cuci tangan dan menghindari kerumunan yang tidak perlu. Adakah kesadaran ini terwujud dalam keseharian? (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.