Oleh: Miqdad Husein*
Hilir mudik di jalan tol pulau Jawa sejak pertengahan Juni sampai awal September memberi pengalaman berharga tentang makan di rest area. Betapa sering -untuk tidak disebut selalu- kekecewaan muncul usai makan di warung tergolong kaki lima atau rumah makan relatif kecil.
Harga mahal alias digetok seakan menjadi hal biasa. Tapi baiklah. Ada alasan tentang sewa mahal walau tetap tidak masuk akal makan pakai telur dan sayur saja di atas Rp 25 ribu rupiah.
Yang bikin super kesal ketika makan jauh dari rasa memuaskan, lalu disodori nota mencekik leher. Benar-benar membuat darah naik.
Pernah sekali waktu makan gule kambing. Sudah rasa kurang memuaskan, praktis hanya berisi tulang belulang. Benar-benar tulang tanpa daging disertai lemak berseliweran. Daging pada tulang kalau toh ada hanya seujung jari kelingking. Ini serius.
Harga tak masuk akal tapi bisa dinikmati mungkin masih bisa tersenyum. Sudah harga mencekik leher, tidak enak ditambah fakta gule hanya berisi tulang belulang.
Tak semua memang warung kaki lima atau yang relatif kecil mengecewakan. Namun untuk di rest area sangat sulit menemukan yang memuaskan. Mungkin mereka berpikir yang mampir hanya sekali. Atau kalau mampir lagi kemungkinan lama hingga lupa.
Logika yang mungkin benar di era lampau. Saat ini ketika dunia medsos menjadi bagian dari masyarakat, apapun bisa viral bila ada yang memposting. Apalagi kekecewaan berurusan rasa lapar.
Coba cermati warung kecil makanan berat di rest area. Sering sepi pembeli. Hanya warung kopi dan makanan kecil relatif ramai. Lalu coba amati restoran mapan seperti MC Donald, KFC, CFC, Rumah Makan Padang Sederhana, Simpang Raya dan lainnya. Ramai luar biasa terutama saat jam makan.
Tampaknya berkembang logika praktis terutama yang sudah pernah kecewa. Lebih baik makan di restoran yang jelas-jelas saja. Dari pada kecewa rasa ngak karuan, harga digetok mending yang sudah pasti. Harga memang mahal tapi rasa sudah ketahuan standarnya.
Apakah tak bisa warung kaki lima dapat meyakinkan pembeli dari segi rasa. Sebuah pertanyaan sederhana.
Mengaca pada Warung Tegal (Warteg) sebenarnya bukan hal tak mungkin. Bahkan sangat mungkin.
Warteg bagi masyarakat Jabodetabek dan beberapa kota besar lainnya sangat populer. Rasa seperti restoran Padang, antar Warteg beda-beda tipis.
Aneh kan, kenapa para pedagang kaki lima di rest area tidak belajar dari Warteg. Rasa lumayan dan pelayanan cepat, paling tidak. Harga mungkin katakanlah karena sewa mahal di rest area, tentu tak harus sama dengan yang ada di luar sana. Walau sulit dipungkiri di Jabodetabek sewa bangunan juga mahal tapi Warteg masih bisa eksis dengan harga relatif tergolong murah.
Di sini penting pembinaan dan pemberian bimbingan bisnis kepada pengusaha UMKM. Mereka agar dapat menjadi alternatif setidaknya perlu belajar dari Warteg dan Restoran Padang kelas kaki lima. Harga bolehlah sedikit lebih mahal. Tapi itu tadi -rasa jangan sampai mengecewakan.
Pengelola rest area agaknya perlu serius membenahi pemilik dan pengelola rumah makan kaki lima jika ingin eksis dan siap bersaing. Jangan lupa kekecewaan pada satu warung bisa berdampak ke lainnya. Pengguna jalan tol jadi malas mampir di rest area yang memberi kenangan pahit.
Kecil itu indah dan enak memang perlu keseriusan. Tidak bisa sambil lalu apalagi seenaknya. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.