Oleh: MH. Said Abdullah
Keberagaman keterikatan keagamaan menjadi salah satu faktor yang masih sering menimbulkan riak-riak sosial di negeri ini. Jangankan antar ummat beragama, dalam skala lebih terbatas pun di internal pemeluk agama, berbagai kontroversi dan pengerasan sikap kelompok mudah muncul hanya karena perbedaan pemahaman keagamaan.
Riak-riak sosial akan mudah meluas ketika agama terlalu jauh diseret ke wilayah politik praktis. Politik identitas terbukti di negeri ini telah menimbulkan ketegangan bahkan di internal ummat beragama.
Realitas kondisi dinamika sosial itu makin menguatkan pemikiran bahwa agama terutama yang bersifat simbolik tak perlu menjadi bagian dari kekuasaan. Agama jika ingin dijadikan bagian dari kekuasaan diadopsi dari nilai-nilai obyektifnya. Misalnya tentang semangat penegakan keadilan, kedisiplinan, profesionalisme, pemberantasan kemiskinan dan lainnya.
Pada titik obyektif inilah mudah dibangun kesepakatan di antara internal pemeluk agama dan bahkan antar pemeluk agama yang berbeda. Sebab semua agama memiliki tujuan mulia menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan dan peningkatan kesejahteraan.
Kegairahan dan semangat keagamaan yang bersifat spiritual dan bernuansa simbolik ditekankan pada penguatan kesalehan personal. Lalu ketika memasuki wilayah sosial nilai-nilai moral dan obyektif yang dikembangkan sehingga mudah dibangun titik temu antar internal dan antar pemeluk agama. Dengan konsepsi itu jauh lebih mudah mengembangkan moderasi keterikatan keagamaan sehingga dapat meminimalisir konflik antar agama.
Ruang peningkatan ketaatan keagamaan dalam peribadatan yang bersifat subyektif tetap diupayakan ditingkatkan. Proses itu merupakan penguatan mental spiritual sehingga mewujudkan ketenangan rohani yang pada titik lebih jauh akan memandang perbedaan keterikatan keagamaan sebagai keniscayaan sunnatullah.
Kekuatan keyakinan inilah yang akan membuat seseorang tidak merasa terganggu perbedaan keterikatan keagamaan. Perbedaan agama tidak menimbulkan rasa khawatir dan ketakutan. Bahkan akan melahirkan relasi sosial sikap saling menghormati.
Keberagaman ikatan keagamaan masyarakat di negeri ini sebenarnya relatif jauh dari riak-riak ketegangan. Budaya masyarakat Indonesia yang ramah, lemah lembut mewarnai keterikatan keagamaan seluruh ummat beragama. Radikalisme jauh dari watak dasar ummat beragama masyarakat Indonesia.
Namun globalisasi dan interaksi sosial sempat mempengaruhi sebagian pemeluk agama. Beberapa riak ketegangan dalam skala kecil sempat mewarnai kehidupan keagamaan bukan hanya antar ummat beragama, bahkan di internal ummat beragama pun muncul pengerasan sikap kelompok.
Di sinilah penting organisasi representasi ummat beragama seperti MUI, MAWI, PGI, Parisada Hindu, Walubi serta ormas Islam seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah serta ormas keagamaan lainnya untuk terus berusaha membentengi masyarakat dari pengaruh radikalisme beragama. Sebuah pekerjaan besar dan sangat tidak mudah serta memerlukan kerja simultan.