Oleh : Miqdad Husein
Ungkapan arif “Di mana bumi berpijak di sana langit dijunjung,” sangat populer di kalangan masyarakat negeri ini, termasuk di Sumenep, Madura. Pepatah yang sudah tergolong klasik itu menegaskan perlunya memahami adat, kebiasaan dan budaya di sebuah daerah.
Jika sekali waktu seseorang datang ke Sumenep, misalnya, perlu memahami dan tentu saja mengikuti budaya, kebiasaan serta adat yang hidup di tengah masyarakat. Ada pesan moral dari pepatah itu kepada siapapun yang bertamu di sebuah komunitas masyarakat agar menghormati budaya dan kebiasaannya.
Itu pesan kepada tamu atau pendatang. Bagaimana jika merasa penduduk setempat apalagi yang berambisi ingin tampil sebagai pemimpin? Jawabannya sangat jelas. Jika tamu saja harus menghormati dan mengikuti adat dan budaya setempat apalagi yang ingin jadi pemimpin masyarakatnya.
Ada keharusan dia harus jadi contoh. Menjadi yang terdepan agar masyarakat yang ingin dipimpinnya lebih mentaati adat istiadat, tata laku sosialnya.
Sulit membayangkan jika yang ingin jadi pemimpin justru kurang memahami dan tidak melaksanakan kebiasaan yang telah hidup di tengah masyarakat Sumenep.
Menghormati seorang kiai misalnya. Sudah mendarah daging bagi masyarakat Sumenep. Karena itu terasa aneh jika ada seorang calon Bupati Sumenep menyebut seorang Kiai ‘se akemmian,’ yang artinya sering buang air kecil.
Meskipun katakanlah ucapan itu bermaksud bercanda tetap jauh dari kepatutan. Apalagi disampaikan di tempat terbuka dalam acara pertemuan yang dihadiri khalayak ramai.
Sekalipun sangat karib menyebut Kiai se akemmian dalam forum pertemuan umum terasa sangat mengejutkan dan menggambarkan jauh dari kelayakan. Kata ‘kemmi’ bukan hanya kasar. Juga berkonotasi organ tubuh yang pamali disebut terbuka.
Melecehkan juga kebiasaan yang praktis sangat dihindari masyarakat Madura. Sumenep yang beraroma tata krama keraton masyarakatnya juga hati-hati sekali agar ucapan kata-kata jauh dari sikap dan perilaku melecehkan.
Lagi-lagi di Sumenep terjadi keprihatinan ketika ada calon Bupati melecehkan masyarakat kepulauan Sapeken. Salah satu kepulauan di Sumenep itu disebut berbahasa Tarzan.
Siapapun mengetahui Tarzan merupakan anak manusia yang hidup di hutan hingga tak mengerti bahasa manusia normal. Secara kualitas, bahasa Tarzan lebih rendah dari bahasa manusia primitif. Bahasa manusia primitif merupakan alat berkomunikasi sesamanya. Sementara bahasa Tarzan tidak dimengerti manusia lain kecuali Tarzan sendiri.
Karena itu penyebutan bahasa Tarzan terhadap bahasa ibu masyarakat Sapeken sungguh sangat keterlaluan. Walau bermaksud sebagai candaan tetap merupakan fakta melecehkan. Bisa dipahami jika ada sebagian masyarakat Sapeken merasa tersinggung. Demikian pula masyarakat Madura lainnya yang merasa salah satu kekayaan bahasa Madura dilecehkan justru oleh sosok yang berambisi ingin jadi pemimpin di Sumenep.
Pernah sekali waktu beredar diduga foto seorang calon Bupati Sumenep tersebut tersenyum manis di depan jenazah. Tentu saja membingungkan. Di tengah jenazah yang seharusnya berduka malah berselfi ria tersenyum. Sebuah perilaku jauh dari kepatutan luar biasa.
Siapapun tentu merasa heran bila ada calon Bupati Sumenep tidak berperilaku sejalan adat dan budaya masyarakat Sumenep. Apalagi melecehkan salah satu kekayaan bahasa yang ada di Sumenep.
Namun masyarakat Sumenep tak perlu berlebihan kecewa. Biarlah. Yang penting masih ada calon Bupati Sumenep yaitu Achmad Fauzi dan Wakilnya Nyi Eva yang sangat menghormati Kiai, para habaib, masyarakat serta kesungguhan berperilaku sejalan adat dan budaya Sumenep yang merupakan bagian dari nilai-nilai Islam.
Achmad Fauzi bahkan sangat jelas menjadi contoh pemimpin bersemangat nilai-nilai luhur masyarakat Sumenep untuk melayani. Insya Allah.