Oleh : Miqdad Husein
Setiap manusia waras dan beradab pasti menolak berbagai tindakan kekerasan dalam bentuk apapun. Apalagi yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa manusia. Ini prinsip universal dan bahkan mewujud kometmen untuk memeranginya.Ya. Dunia beradab sepakat menolak dan memerangi tindakan kekerasan.
Masalahnya seringkali ada saja segelintir masyarakat -seperti juga para pelaku tindak kekerasan- melakukan perbuatan yang menjadi titik masuk tindakan kekerasan. Ia memantik percikan api sehingga terjadi kebakaran. Keduanya atas dasar alasan apapun sama: merupakan kelompok manusia yang tindakannya harus ditolak. Pelaku kekerasan dan mereka yang memancing tindakan kekerasan adalah musuh kemanusiaan.
“Lho ini kan kebebasan berekskpresi. Mereka seharusnya merespon sama dengan ekspresi yang sama,” teriak mereka yang menjadi penyebab munculnya kekerasan. Jangan lupa, mereka yang melakukan tindakan kekerasan dan bentuk lain akan berteriak sama dan beralasan sebagai balasan bahwa, ‘Ini juga ekspresi kami. Kebebasan kami bertindak.”
Tak usah heran jika kemudian ekspresi pemantik kekerasan memancing timbulnya kekerasan. Dan kegaduhanpun makin merebak ketika ada sikap pembelaan kepada salah satu pihak. Harusnya, baik mereka yang mengekspresikan berpotensi memancing kekerasan dan yang melakukan kekerasan harus dikecam dan ditolak keras. Tak ada alasan membela salah satu dari keduanya.
Mereka yang berekspresi kadang diposisikan terhormat sebagai seorang kreatif. Mereka dianggap menuangkan gagasan atas dasar prinsip kebebasan. Jelas ini tindakan ironis dan menggambarkan inkonsistensi pemikiran dan sikap.
Dalam dunia jurnalistik ada prinsip universal yang disepakati bersama yaitu tidak memajang akibat tindakan kekerasan baik dalam bentuk kecelakaan maupun perilaku kriminal berdarah-darah. Alasannya sangat rasional. Antara lain, menghindari trauma dan ketakutan para pembaca. Juga dikhawatirkan memancing tindakan kekerasan lain.
Jika terhadap gambar dan berita kekerasan berdarah-darah disepakati ditolak dan dilarang dipajang di media cetak maupun elektronik, mengapa hal yang berpotensi sama dapat menimbulkan tindakan kekerasan dan kegaduhan dibela atas dasar alasan kebebasan ekspresi. Sudah jelas ekspresi itu dapat menimbulkan amarah hingga tindakan kekerasan. Lebih parah lagi ketika peristiwa sejenis pernah terjadi dan menimbulkan tragedi kemanusiaan.
Seperti juga kekhawatiran manusia waras terhadap dampak pemberitaan dan gambar berdarah-darah, seharusnya hal yang sama juga diberlakukan kepada mereka yang berprinsip kebebasan berekspresi yang melabrak keyakinan keagamaan.
Seperti juga berita dan gambar kekerasan, tak semua manusia siap mengendalikan diri dalam bereaksi. Selalu ada orang-orang yang tidak mampu mengendalikan amarah. Ya, seperti kekhawatiran ada trauma dan meniru tindakan kekerasan dari berita dan gambar berdarah-darah, seharusnya disadari pula, tak semua orang bisa mengendalikan diri menghadapi hinaan terhadap keyakinannya. Lihat betapa tidak rasionalnya menumpahkan kemarahan kepada jamaah gereja. Bukankah sumber kemarahan karikatur dari Charlie Hebdo? Satu bukti berbahaya dampak dari kebebasan berekspresi yang kebablasan.
Seorang intelektual Prof Nadirsyah Hosen mengatakan bahwa bukankah tidak ada yang tahu wajah Nabi Muhammad termasuk pembuat karikatur. Sehingga karikatur yang dibuat Charlie Hebdo jelas bukan atau setidaknya belum tentu gambar Nabi Muhammad.
Pemikiran Nadirsyah tidak salah. Tetapi tentu saja, tak semua orang dapat merespon dengan pikiran seperti dia. Ya seperti respon pada berita dan gambar kekerasan, selalu ada orang-orang yang trauma, mengalami kengerian dan bahkan ketakutan akut.
Sederhana sebenarnya. Ketika diketahui apa yang dibuat ternyata dapat menimbulkan amarah dan bahkan tindak kekerasan bukankah sangat arif bila menghindarinya. Ketika dikhawatirkan berita kekerasan dan darah menimbulkan dampak negatif, bukankah bisa dihindari. Lalu mengapa Charlie Hebdo masih saja bersikap genit, menyentuh dan membangkitkan emosi. Lebih ironis lagi ketika seorang Presiden Prancis Emmanuel Macron justru memberikan pembenaran lalu menyerang agama Islam tanpa menyadari kegaduhan yang timbul.
Belakangan Macron merevisi pernyataannya dan menegaskan negaranya tidak memiliki masalah dengan agama apapun. Ia lalu menegaskan bahwa yang dilakukan di Prancis memerangi terorisme yang dilakukan atas nama Islam dan bukan Islam itu sendiri. Sebuah kesadaran betapapun terlambat tetap perlu diapresiasi sekaligus jadi pembelajaran terutama bagi Macron sendiri.
Ada banyak alasan untuk mengembangkan kebebasan berekspresi. Tetapi ketika ditemukan satu saja alasan kebebasan itu dapat menciptakan kegaduhan apalagi tragedi kemanusia dalam bentuk bangkitnya tindakan kekerasan, bukankah lebih baik menghindarinya. Apalagi masih banyak karya lain, yang bisa dibuat untuk mengembangkan kebebasan ekspresi.
Saatnya melawan tindak kekerasan dan berbagai tindakan berpotensi timbulnya kekerasan. Keduanya sama: menimbulkan duka dan nestapa serta tragedi kemanusiaan.