Oleh : Miqdad Husein
Seorang khotib dan penceramah mengungkapkan keheranannya terkait berbagai pemberitaan di media sosial yang menyebut saat ini ummat Islam Indonesia terpojok dan selalu dicurigai. “Apa iya, kondisi ummat Islam seperti itu,” tanyanya.
Coba tunjukkan katanya, bukti riil bahwa kondisi ummat Islam Indonesia tertindas. “Lha, sholat leluasa, haji dan umroh diurus pemerintah, puasa dan lebaran pemerintah full mengurus, zakat juga didorong. Madrasah dan lembaga pendidikan Islam serta lainnya bahkan dibantu pemerintah. Yang terpojok dicurigai apanya,” tuturnya, masih juga merasa heran.
Ketika disinggung ada pernyataan bahwa ada kriminalisasi ulama, sang khotib balik bertanya, “Ulama yang mana?” Sekarang ini siapapun bebas berbicara. Para khotib dan ulama dapat berbicara bebas. Termasuk dapat leluasa mengkritisi pemerintah.
Yang ditangkap? Yang ditangkap ada. Tapi apa iya terkait sikap terhadap pemerintah. “Seluruh penceramah yang ditangkap selalu berurusan dengan orang lain. Nur Sugih diproses hukum karena laporan Nahdatul Ulama, Alfian Tanjung karena dianggap menfitnah Teten Masduki, Maheer atau Soni Erata karena menghina Habib Lutfi.”
Bahar Smith diproses hukum bukan karena ceramah. Ia diseret ke pengadilan karena tindakan kekerasan menyiksa anak remaja. Bachtiar Nasir diproses hukum jelas-jelas, memprovokasi makar dalam sebuah masjid, tambah sang khotib. “Salahnya pemerintah di mana?” tanyanya lagi
Kasus Rizieq Shihab yang belakangan jadi perhatian sangat jelas diduga karena provokasi luar biasa. Rizieq bahkan banyak menyisakan kasus hukum laporan dari berbagai kalangan. Termasuk dari pengacara Henry Kusumadiningrat. Jangan lupa, baru sekali ini, di era pemerintahan Presiden Jokowi ada proses hukum terhadap Rizieq terkait provokasi. Padahal data sangat transparan bahwa Rizieq Shihab justru pernah dua kali dipenjara pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Jadi, apa kebijakan dan tindakan pemerintahan Jokowi kok disebut anti Islam, Islam dipojokkan, ada kriminalisasi ulama? tanya sang khotib lagi.
Dengan terbuka sang khotib menceritakan betapa beda jauh kondisi sekarang dibanding di masa Orde Baru. Pada masa kepemimpinan Soeharto, penceramah, khotib, di masjid atau di manapun tak bisa berbicara masalah sosial. Semua diarahan hanya bicara keislaman formal. “Jangan coba-coba bicara hukum dan politik. Bicara benar saja jika persoalan sosial langsung diproses hukum,” paparnya.
Di berbagai perkantoran, gedung-gedung apalagi terkait pemerintah jika ada khotib dan penceramah bicara persoalan sosial apalagi mengkritisi kebijakan pemerintsh, dijamin tak akan dipakai lagi. Belum lagi ada kemungkinan diproses hukum. “Puluhan dan bahkan ratusan da’i, ulama, ustadz ditangkapin di masa Orde Baru. Ada yang diproses hukum, banyak lagi yang tanpa proses hukum. Sebatas dipenjara,” kata sang khotib membagikan pengalamannya berdakwah di masa Orde Baru.
Sangat aneh sebenarnya ketika dua periode pemerintahan Presiden Jokowi disebut kurang bersikap simpati kepada ummat Islam. Ironisnya tak seorangpun dapat menjawab serta membuktikan secara terinci dan memaparkan secara jelas.
Sekarang ini merebak opini sebagian masyarakat untuk berjihad memerangi pemerintah. Salah pemerintah apa sehingga perlu dilawan, kata sang khotib. “Apa pemerintah memusuhi ummat Islam, menginjak-injak ummat Islam? Apa ada kebijakan pemerintah yang merugikan ummat Islam?” tanyanya lagi.
Saat ditanya apa penyebab sehingga di era yang demikian bebas ini muncul sinisme bernuansa agama kepada pemerintahan Presiden Jokowi. “Politik. Ini sisa-sisa pertarungan politik terutama Pilpres 2019 lalu,” tegasnya. Sayangnya, sebagian masyarakat terseret tanpa menyadarinya.
Mereka tidak dapat menyerang Jokowi kecuali melalui penggunaan sentimen agama. Hanya lewat memainkan agama para petualang politik dapat lebih mudah menggalang opini kebencian kepada pemerintah. Ini tambahnya, yang kurang disadari oleh sebagian masyarakat Islam.
Era sekarang ini demikian luar biasa bebas untuk menyampaikan pemikiran, usulan, saran, kritik bahkan sering ada kebablasan memaki-maki, sangat jauh dari akhlaq Islam. Hampir tak mungkin pemerintahan siapapaun di era media sosial sangat terbuka sekarang, mengabaikan kelompok masyarakat tertentu, apalagi mayoritas ummat Islam. Bahwa ada kekurangan pemerintah, mungkin saja. Ini manusiawi. Karena itu perlu ada kritik, mengoreksi sebagai bagian dari kehidupan demokrasi. Itu yang perlu dilakukan dan bukan menebar kegaduhan apalagi melakukan perlawanan kekerasan.