MH. Said Abdullah
Beberapa hari terakhir aparat kepolisian mengamankan sejumlah pengguna media sosial seperti twitter, facebook dan lainnya. Semua kasus menyangkut ujaran kebencian, penghinaan dan tantangan kasar. Sebagian mengarah kepada Presiden Jokowi, lainnya langsung mengarah ke aparat kepolisian.
Ada pernyataan yang sangat keterlaluan seperti dilakukan beberapa anak muda, yang menantang aparat kepolisian secara terbuka. Mereka tanpa rasa bersalah dan demikian lantang mengatakan akan memenggal kepala aparat kepolisian.
Benar-benar luar biasa keberaniannya. Namun, ketika kemudian berhadapan aparat kepolisian mereka berobah menjadi ciut. Benar-benar mengkerut, mengecil lalu terbata-bata mengaku bersalah dan meminta maaf. Sayang, maaf sudah terlambat. Tindakan pelanggaran hukum telah terjadi.
Dari fragmen selintas ini terlihat jelas betapa anak-anak muda itu kurang menyadari apa yang dilakukannya. Mereka hanya mengikuti emosi, tanpa memahami masalah apalagi resiko dan akibat hukum yang akan menimpanya. Berbagai pernyataan sarkastis dan menantang aparat apalagi sampai mengancam tidak disadari dapat berakibat hukum.
Mereka sebagian lagi hanya sekedar ikut-ikutan, gagah-gagahan agar dianggap berani. Sebuah perilaku khas anak muda, yang seperti kata penyanyi Rhoma Irama, dalam lagu Darah Muda, berpikir sekali tanpa menghiraukan akibatnya.
Selain anak muda, banyak juga ditemui ibu-ibu, yang tak kalah ‘gagah’ mengumbar kata-kata kasar, ujaran kebencian, caci makin dan bahkan hinaan. Lagi-lagi seperti kasus anak muda, para ibu-ibu itu setali tiga uang. Merengek, menangis tersedu-sedu setelah diamankan aparat kepolisian. Sesal kemudian tiada berguna, karena proses hukum tetap berlanjut.
Anak-anak muda, ibu-ibu yang baru kenal media sosial itu rupanya tidak belajar dari berbagai kejadian serupa, termasuk yang menimpa praktisi media sosial, sosok yang mengaku ustad seperti Maaheer yang bernama asli Soni Erata. Betapa berani dan sangat gagah si Soni Erata kalau bicara. Benar-benar mengundang decak kagum bagi para pengikutnya. Namun, semua suara berapi-api berobah menjadi tangis sedu sedan setelah ditangkap aparat kepolisian.
Kejadian sejenis sebenarnya berulang kali diberitakan media. Sayangnya, masih saja ada anak-anak muda, ibu-ibu yang terpeleset serta mengulang kesalahan seperti dilakukan Soni Erata.
Dengan berbagai contoh terulangnya anak-anak terjerumus tindak pidana, tergambar jelas betapa sebagian masyarakat sangat labil, mudah terseret emosi sehingga tidak menyadari bertindak melabrak rambu-rambu hukum. Kondisi ini seharusnya dipahami para tokoh, pemuka agama, politisi agar tidak menjadi contoh dengan berbagai ujaran kebencian, sumpah serapah, hinaan dan sebagainya.
Anak muda yang ingin memenggal aparat kepolisian sangat jelas, terpengaruh dan terprovokasi berbagai pernyataan sebelumnya dari sosok yang dianggap tokoh. Pernyataannya yang ingin membela sang tokoh, sama dengan pernyataan sang tokoh, yang juga menyebut-nyebut memenggal kepala terkait kasus di Prancis.
Sangat mudah terjadi penularan kata-kata kasar dari sosok yang dianggap tokoh kepada anak muda. Apalagi ketika ada jalinan ikatan, baik formal maupun informal serta emosional antara anak muda dan tokoh panutannya. Kecenderungan untuk meniru sosok yang dianggap idolanya, sangat besar.
Di sinilah betapa penting kesadaran siapapun yang berada pada posisi sebagai public figur. Bahwa apapun yang dilakukan mudah sekali menular atau ditiru oleh para pendukung dan pengikutnya. Kesadaran relationship itu mutlak diperlukan agar selalu berhati-hati dalam melakukan tindakan apapun, termasuk dalam menyampaikan pesan verbal.
Kalimat jauh dari kepatutan apalagi bernuansa provokasi sangat berbahaya karena mudah mempengaruhi, terutama anak-anak yang ‘berpikir sekali saja.’ Demikian pula resiko dampak psikologis kepada anak-anak, yang belum bisa membedakan kata yang baik dan buruk. Lebih berbahaya lagi ketika berbagai kata-kata jauh dari kepatutan disampaikan dalam forum keagamaan sehingga menimbulkan asumsi salah seakan sebagai kebaikan.
Di era media sosial seperti sekarang ini, resiko dampak buruk pernyataan makin besar karena setiap orang mudah menyebarkannya. Apalagi ketika penyebaran di media sosial kadang sepenggal-sepenggal sehingga berpeluang besar menimbulkan kesalahan persepsi dan pemahaman.
Saat ini, bukan hanya pandemi Covid yang harus dihadapi masyarakat. Tetapi juga polusi kata-kata, polusi akhlak, yang kadang dikemas dan dimanipulasi seakan-akan ajaran agama. Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan tinggi melindungi anak-anak dan generasi muda. Aparatpun perlu bertindak tegas kepada siapapun, yang seenaknya mengumbar ‘kata-kata’ berbahaya.