Oleh : MH. Said Abdullah
Sebuah video menayangkan dialog pengemudi taksi dengan penumpang dalam setting Timur Tengah pernah beredar luas di dunia maya. Pakaian penumpang bergaya tradisional Arab disertai jenggot lebat sedang pengemudi taksi berpakaian keseharian berupa kemeja dan celana panjang.
Dalam perjalanan pengemudi meminta izin kepada penumpang untuk menyalakan radio. Spontan dijawab, “Sesat, kamu. Apa ada radio di masa sholafussaleh. Tutup radio buatan kafir itu,” teriak penumpang melarang.
Belum terlalu lama tiba-tiba terdengar suara panggilan telpon kepada pengemudi. Dengan sopan pengemudi meminta izin untuk menjawab panggilan. “Sesat. Jangan kau jawab telpon buatan kafir itu. Apakah ada telpon di zaman sholafussaleh,” teriak penumpang, lagi.
Setelah beberapa kali kejadian serupa, pengemudi mulai kesal. Dengan sopan kemudian pengemudi bertanya, “Ya Syech, apakah di masa sholafussaleh ada taksi?”
Dengan tergagap penumpang menjawab tak ada. Langsung kemudian mobil diberhentikan dan supir segera menurunkan penumpang sambil berteriak, “Silahkan anda naik onta. Tunggu di sini,” kata pengemudi sambil berlalu.
Video yang sempat beredar di jejaring sosial itu mungkin sengaja dibuat untuk menggambarkan munculnya realitas perilaku segelintir ummat Islam, menghadapi kondisi sekarang. Mereka terperangkap pemikiran ingin hidup seperti di masa sholafussaleh bahkan ketika era Nabi Muhammad.
Seperti penumpang taksi, terjadi kegamangan. Ia menolak teknologi tapi lupa atau tidak menyadari pada waktu yang sama menggunakannya. “Menolak telpon dan radio tapi duduk manis di mobil taksi.”
Di sini terlihat jelas ada paradigma berpikir yang sebenarnya kontradiktif. Di satu sisi demikian bersemangat ingin hidup seperti di masa awal Islam, lalu menolak hal-hal yang dianggap tak sesuai. Namun pada bagian lain menggunakan dan menikmatinya. Mirip kelakuan orang yang memaki-maki Cina tapi pakai ponsel produk Cina.
Perilaku yang belakangan muncul pada sebagian masyarakat muslim sebenarnya menggambarkan kebingungan berpikir serta terperangkap persepsi pemikiran masa lalu. Mereka biasanya terlalu mengidealkan kehidupan masa-masa awal Islam seakan semua berjalan sempurna. Padahal, pergantian kepemimpinan di masa empat Khalifah terkemuka saja perdebatan dan konflik berdarah sempat terjadi. Tiga dari empat Khalifah bahkan dicatat sejarah yaitu Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib gugur terbunuh.
Yang lebih parah lagi tanpa disadari mereka terperangkap pemikiran ideal tekstual. Lalu menganggap yang ideal di masa lalu dapat diterapkan pula di era sekarang.
Contoh paling gampang tentang memanah dan naik kuda yang dianjurkan dalam sebuah hadits agar dipelajari ummat Islam. Jika dipahami sebatas kebutuhan kesehatan untuk olahraga masih dapat diterima akal sehat. Namun untuk ditafsirkan sebagai ajaran persiapan konsolidasi peperangan era kekinian jelas menjadi sangat konyol. Bagaimana mungkin mempersiapkan perang di era sekarang menggunakan panah dan kendaraan kuda ketika persenjataan serta perangkat perang lainnya sangat modern.
Di masa lalu panah dan kuda memang pilihan paling rasional karena di masa itu termasuk senjata efektif serta merupakan alat transportasi paling dinamis dibanding onta dan keledai apalagi berjalan kaki.
Bentuk lain membawa teks sejarah masa lalu terlihat pula dalam persoalan ekonomi. Di Depok, pinggiran Jakarta ditemui praktek Pasar Muamalah. Di pasar itu masyarakat yang bertransaksi berusaha seperti di masa Rasulullah menggunakan uang dirham dan dinar.
Lagi-lagi ini kekonyolan penerapan tekstual masa lalu di masa sekarang. Menggunakan standar dinar atau dirham sebagai standar transaksi mungkin masih debatable. Namun menjadikan sebagai alat transaksi keseharian di era sekarang ini, bukan pilihan rasional dan malah mundur.
Ketika keseharian masyarakat mulai menggunakan transaksi non tunai, pemakaian dinar dan dirham terlihat semakin membingungkan. Sekedar contoh, dengan uang tunai saja membayar tol sudah menimbulkan keruwetan sehingga tak lagi dipergunakan apalagi menggunakan dinar dan dirham.
Membawa teks peristiwa kejayaan masa lalu seperti khilafah makin terlihat mustahil. Apalagi bila kemudian disertai kesalahan pemahaman seakan era kekhalifahan sepenuhnya berjalan linier. Bukankah kekelaman tak kalah dasyat mewarnai masa kekhalifahan seperti perang saudara, perang sesama ummat Islam dan konflik berdarah lainnya.
Kondisi tekstual di era masa lalu apalagi setelah lebih 14 abad jelas sangat berbeda dan hampir mustahil diterapkan di era sekarang. Belajar dari masa lalu mutlak diperlukan. Seperti kata Bung Karno jangan pernah melupakan sejarah.
Nilai, moral, semangat, subtansi yang dijadikan pelajaran dari peristiwa masa lalu yang diterapkan secara kontekstual sesuai kondisi sekarang. Bukan justru terkungkung idealita tekstual masa lalu. Demikianlah.