Oleh : MH. Said Abdulah
Indonesia secara realitas obyektif memiliki potensi luar biasa untuk berperan dalam tatanan konstelasi dunia Islam dan bahkan dunia keseluruhan. Seluruh prasyarat dimiliki Indonesia seperti kestabilan politik, budaya, potensi ekonomi dan kematangan diplomasi internasional.
Denys Lombard, orientalis dari Prancis, menuliskan kenusantaraan kita memiliki energi osmosis yang mampu menyerap kebudayaan baru dari luar. Keduanya saling meresapi dan memberi arti, membentuk tatanan baru yang menyempurnakan, tidak saling meliyankan. Ulama NU menyebutnya dengan wajah Islam Nusantara, yakni paduan keislaman dan kelokalan (kenusantaraan) yang baru.
Nasionalisme dan keislaman tidak menjadi nilai yang saling menegasikan. Bahkan oleh para pendiri bangsa seperti Bung Karno, keduanya diletakkan dalam prinsip dasar sila ke-1 dan ke-3 Pancasila. Ukhuwah islamiah menjadi modal dasar menguatkan ukhuwah basyariyah (kerukunan kebangsaan) serta pilar-pilar penegak ukhuwah wathaniyah (sesama manusia).
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, Indonesia juga menjadi negara muslim dengan PDB terbesar di antara negara-negara mayoritas muslim lainnya. PDB Indonesia pada 2019 mencapai USD 1.120 miliar melampaui Saudi dengan PDB USD 792 miliar dan Turki USD 760 miliar.
Sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, Indonesia dapat menjadi kekuatan penyeimbang sekaligus mediator atas segala pertikaian di antara negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Keterikatan keislaman sebagian besar masyarakat yang berkarakter moderat mempermudah Indonesia menjalin dan dipercaya sebagai pendamai. Tentu yang terpenting kemampuan pemerintah Indonesia dalam menjaga stabilitas nasional di atas keanekaragaman agama, suku dan adat istiadat makin meyakinkan negara lain menerima Indonesia sebagai penengah.
Dua kekuatan, yakni keislaman yang kosmopolit serta moderat dan ekonomi yang besar, dapat menjadi senjata Indonesia dalam memainkan peran global, bahkan tidak hanya terhadap negara-negara berpenduduk muslim, tetapi juga kekuatan di antara negara-negara maju. Bukankah Eropa harus ikut menanggung dampak konflik berkepanjangan di Timur Tengah, salah satunya membanjirnya arus pengungsi dan pencari suaka.
Meski tidak semua akar konflik di Timur Tengah bersumbu dari agama, konflik berkepanjangan itu membangkitkan aksi fundamentalisme dan radikalisme. Akibatnya, dunia menghadapi kekalutan dan menyatakan perang terhadap terorisme, terlebih banyak aksi teror yang mengatasnamakan Islam. Meskipun harus kita akui banyak yang keblinger dalam berislam dan menjadi pelaku terorisme, asosiasi Islam dan terorisme patut kita ubah di kebanyakan masyarakat Barat. Persepsi itu memang mengental seiring dengan berbagai propaganda Barat sendiri melalui film dan framing media.
Atas persoalan ini, Indonesia dapat menjadi pelopor bagi pemutus mata rantai aksi radikalisme dan terorisme dari sisi hulu. Salah satunya menguatkan diseminasi keislaman Indonesia sebagai ’’role model’’, yang disemai dalam pendidikan, kebudayaan, dan pembangunan.
Selama ini, Indonesia juga telah berperan aktif dalam upaya memutus pendanaan terhadap tindak pidana terorisme dan pencucian uang. Klausul itu tertuang kuat dalam kewajiban setiap pelaku pada industri keuangan kita untuk memutus rantai kemungkinan pendanaan terorisme dan pencucian uang.
Terakhir, Indonesia dapat mendorong penguatan kerja sama ekonomi di antara negara-negara muslim. Langkah ini akan mendorong insentif di antara kedua pihak. Dengan begitu, pikiran dan energi mereka akan lebih terkonsentrasi pada urusan-urusan yang lebih fundamental dalam memperbaiki peradaban. (*)
Ini merupakan petikan dari tulisan berjudul Islam, Peradaban dan Pembangunan Ekonomi, yang dimuat di Jawa Pos, tanggal 12 Januari 2021.