By : Miqdad Husein
Pemerintah akhirnya melarang aktivitas Front Pembela Islam (FPI). Langkah ini secara normatif didasarkan pada berlakunya Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI yang berakhir tanggal 21 Juni 2019. Karena tidak ada langkah perpanjangan SKT, FPI dengan demikian dianggap tidak memiliki legalitas.
Penjelasan pemerintah melalui Menko Polkam Mahfud MD tentang pelarangan aktivitas FPI sebenarnya lebih didasarkan pada fakta normatif FPI tidak lagi memiliki SKT. Namun, ternyata yang berkembang di media pemerintah dianggap membubarkan FPI.
Perdebatanpun tak terhindarkan. Muncul pro kontra terhadap langkah pemerintah. Kritik tajampun mengarah pada pemerintah menuntut pembubaran Ormas melalui pengadilan. Namun sayangnya, dalam berbagai sikap kontra ada yang sengaja diabaikan dan lebih sekedar tudingan pemerintah membubarkan FPI. Padahal tindakan pemerintah lebih pada legalitas hukum yang tidak lagi dimiliki FPI. Jadi hal wajar bila ada sebuah kelompok besar seperti FPI perlu memiliki SKT sebagai bagian dari pembinaan, pengawasan dan hal-hal terkait hubungan sosial seperti keperdataan dan lainnya.
Pemerintah tampaknya setelah SKT FPI berakhir bulan Juni 2019 -entah ada upaya memperpanjang atau tidak- mengamati secara cermat aktivitas FPI. Ada harapan seperti sebagian besar masyarakat negeri ini- ada perubahan perilaku pimpinan dan anggota FPI agar tidak lagi melakukan berbagai aktivitas yang melabrak rambu hukum. Namun tampaknya, setahun sejak SKT berakhir langgam dan gerak FPI sama sekali tidak berobah. Karena tidak memiliki SKT sudah tentu wajar saja bila kemudian pemerintah mengambil langkah-langkah pelarangan aktivitas FPI.
Di luar perdebatan proses pelarangan aktivitas FPI, sebenarnya sulit mengingkari fakta jejak buram FPI. Kontras dan YLBHI misalnya, yang memprotes proses pelarangan aktivitas FPI mengakui dan bahkan ikut mengecam berbagai kekerasan, provokasi kebenciaan, sweeping serta pelanggaran hukum yang selama ini dilakukan FPI. Artinya, prosesnya diharapkan dua organisasi melalui keputusan pengadilan. Di sini lagi-lagi terlihat kecenderungan mengarah pada pembubaran dan bukan mencermati proses legalitas FPI.
Kekhawatiran Kontras dan YLBI dan beberapa lembaga bahwa tindakan pelarangan pemerintah akan menjadi preseden buruk, karena tidak melalui proses pengadilan sebenarnya agak berlebihan. Apalagi sampai menganggap keputusan pemerintah dapat membunuh demokrasi serta membungkam aspirasi rakyat. Saat ini ada begitu banyak Ormas terdaftar di Kementerian Dalam Negeri. Pemerintah hanya melarang beberapa Ormas yang jelas-jelas dalam keseharian identik dengan tindakan pelanggaran hukum serta secara terbuka menolak ideologi Pancasila seperti HTI. Ormas lainnya sampai saat ini dapat beraktivitas tanpa ada campur tangan pemerintah.
Di era keterbukaan sekarang ini pemerintah manapun tidak bisa sewenang-wenang bertindak yang dikatogorikan melanggar HAM. Akan ada resiko besar secara politik karena akan berhadapan protes dan bahkan pengucilan dunia.
Di luar pro kontra proses, fakta memperlihatkan terlalu banyak tindakan FPI yang secara hukum bermasalah. Penahanan Rizieq Shihab dua kali di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sedikit contoh tentang perilaku FPI yang melanggar hukum. Rizieq sebagai pimpinan FPI saat itu menjadi sosok paling bertanggungjawab berbagai tindakan pelanggaran hukum FPI. Saat ini Rizieq Shihab juga masih berhadapan berbagai kasus hukum. Sebuah gambaran riil tentang betapa keberadaan FPI memang sarat pelanggaran hukum.
Di luar itu FPI melalui berbagai pernyataan Rizieq sangat jelas mendukung ISIS. Sebuah organisasi yang dikecam seluruh dunia karena tindakannya menginjak-injak nilai kemanusiaan. Lagi-lagi ini menjadi bukti kekerasan memang identik dengan FPI.
Jika Kontras, YLBHI dan Amnesty Internasional Indonesia, memperlihatkan pikiran obyektif dan memiliki jejak selalu mengecam berbagai tindakan kekerasan serta pelanggaran FPI, segelintir politisi justru seperti memanfaatkan untuk syahwat politik melalui pembelaan jauh dari rasional. Yang paling bersemangat membela FPI siapa lagi kalau bukan Fadly Zon. Tak ketinggalan politisi PKS Hidayat Nurwahid dan Mardani Ali Sera.
Ada berbagai ‘seranngan’ pada keputusan pemerintah. Mereka semua mendasarkan pada HAM dan hukum. Mereka menganggap pemerintah sewenang-wenang dan menyebut pelarangan aktivitas FPI sebagai pelanggaran HAM.
Berbagai pernyataan kritik pada keputusan pemerintah itu terasa ironis. Mereka mengkritisi pemerintah yang melaksanakan penegakan hukum sementara selama ini mereka seperti tutup mata pada berbagai tindakan pelanggaran hukum, kekerasan yang dilakukan FPI.
Terlihat sekali berbagai serangan opini pada keputusan pemerintah dari para politisi itu tidak lebih sekedar menjaga kepentingan dukungan politik. Persoalan pundi-pundi suaralah yang jadi persoalan. Mereka, jika tidak membela FPI khawatir kehilangan dukungan suara. Sebuah perilaku politik yang jauh dari keadaban karena menjadikan tindakan pelanggaran hukum FPI sebagai energi politik.
FPI sangat panjang meninggalkan jejak buram di negeri ini. Sepak terjang Rizieq Shihab sejauh ini sudah melampaui batas. Rizieq Shihab dan FPI seenaknya menerobos berbagai rambu hukum sehingga selalu menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Ceramah Rizieq Shihab hampir seluruhnya berisi sumpah serapah, caci maki dan bahkan penghinaan kepada Presiden, institusi TNI, Kepolisian, suku, tokoh-tokoh agama dan lainnya. Ujaran kebencian dan kata-kata kotor mewarnai pula hingga menyebarkan polusi akhlak kepada anak-anak.
Lalu, salahkah pemerintah bila tidak memperpanjang izin pada organisasi seperti FPI dengan sepak terjangnya, yang sudah keterlaluan? Adakah tindakan itu sebagai pelanggaran HAM karena tidak melalui proses pengadilan dan pemerintah lebih mengedepankan asas legalitas? Atau, akan dibiarkan organisasi sejenis, merajalela melakukan kekerasan dan melabrak hukum serta menyebar polusi akhlaq? Pilihannya, sangat jelas bagi mereka yang berpikir jernih. Kecuali tentu saja, tidak bagi mereka yang menyimpan agenda kepentingan untuk memuaskan syahwat politik sesaat.