SUMENEP, koranmadura.com – Arah pemberantasan dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, dinilai lemah. Bahkan disinyalir tidak jelas selama beberapa tahun terakhir.
Indikasinya, terdapat beberapa dugaan penyimpangan dalam realisasi penggunaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) namun tidak ada kejelasan hukum.
“Ada beberapa dugaan penyimpangan yang selama ini belum ada kejelasan,” kata Badrul Aini, salah satu tokoh asal Kepulauan Sumenep, Kamis, 18 Februari 2021.
Beberapa dugaan korupsi itu, kata dia, yakni pengadaan tanah yang bakal dijadikan sebagai bandar udara (Bandara) di Kecamatan Arjasa. Tahun 2015 dan 2016 dianggarkan untuk pembebasan lahan sebesar Rp 1 miliar dan sudah tersalurkan. Namun, sampai saat ini tanah tersebut diduga tidak jelas keberadaannya atau fiktif.
Hal itu, kata Badrul, dilihat dari hasil fisibility studies (FS) terbaru lokasi yang telah dibabaskan, yakni di Desa Paseraman, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, dinilai tidak layak. “Anehnya FS tahun 2015 dan tahun 2016 dinilai layak, kenapa kok beda ini, kami curiga ada permaianan. Makanya kami minta semua yang terlibat harus bertanggungjawab,” jelas dia.
Selain itu, lanjut Badrul, terdapat kasus di salah satu badan usaha milik daerah (BUMD) yang disinyalir dijadikan bahan bancakan. Namun, Badrul tidak menyebutkan nama BUMD dimaksud.
“Ada BUMD yang di garong oleh oknum dengan nyata sekali, harus segera diproses hukum,” ungkap dia.
Dugaan korupsi lain yang harus menjadi perhatian, lanjut Wakil Ketua Komisi II DPRD Sumenep ini, yakni pemberian anggaran untuk program wira usaha muda (WUM). Kata dia, anggaran miliaran rupiah dianggap hanya dijadikan bancakan mengingat output yang dihasilkan tidak jelas. “Dengan dana puluhan miliar ini diduga hanya dijadikan bancakan semata,” jelas dia.
Dia berharap, kasus tersebut menjadi prioritas kedepan, lebih-lebih pada era kepemerintahan Achmad Fauzi – Dewi Khalifah sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sumenep. Sebab, semasa tampuk kepemerintahan A. Busyro Karim – Achmad Fauzi kasus tersebut belum menemukan titik terang hingga masa jabatannya berakhir.
“Penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan rakyat dan negara di Sumenep tidak boleh dilupakan, apalagi di hilangkan,” ungkap Badrul.
Apalagi sampai saat ini, kata Badrul, rekam jejak dugaan penyimpangan tersebut tetap ada. Sehingga mudah untuk melakukan penelusuran untuk ditindaklanjuti.
“Para penegak hukum harus tegas, para pelaku harus diberi sanksi sesuai dengan perilaku mereka. Jabatan bupati baru di Sumenep harus di jadikan momentum untuk bersih-bersih. Jangan sampai antek-antek pelaku kejahatan anggaran rakyat masih bisa melakukan modus yang sama,” ungkap dia.
Sementara Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Sumenep Agustiono Sulasno belum bisa memberikan keterangan mengenai pembangunan bandara di Desa Paseraman. Saat dikonfirmasi, dia mengaku masih ada acara.
“Saya masih rapat,” katanya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon selulernya.
Rencana pembangunan bandara di Arjasa, tepatnya di Desa Paseraman dilakukan sejak tahun 2014. Rencana itu muncul karena transportasi laut di Sumenep sangat minim, saat cuaca ekstrem pelayaran ke sejumlah kepulauan lumpuh.
Tahun 2015 Pemerintah Kabupaten Sumenep menganggarkan sebesar Rp 8 miliar. Anggaran tersebut untuk pembebasan lahan sekitar 18 hektare. Dari anggaran itu, hanya terserap sekitar Rp 1 miliar untuk ganti rugi bagi penggarap lahan seluas 7 hektare.
Sesuai planing awal, pembangunan bandara di Pulau Kangean diperkirakan membutuhkan anggaran sekitar Rp 19,1 miliar. Rinciannya, Rp 1,1 miliar untuk pembebasan lahan seluas 11 hektare, dan Rp 18 miliar akan digunakan untuk pembangunan sejumlah fasilitas bandara yang lain, seperti pembangunan runway, terminal, lokasi parkir, dan juga pembangunan ruang tunggu penumpang. Namun, rencana tersebut kandas dan saat itu pemerintah sedang melakukan FS ulang yang pada intinya lokasi awal dinilai tidak layak dijadikan bangunan bandara. (JUNAIDI/ROS/VEM)