SAMPANG, koranmadura.com – Penggunaan pakaian seragam sekolah yang kini mulai diatur oleh keputusan tiga Menteri RI, kini mendapat respon dari tokoh agama di wilayah Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, lantaran bertentangan dengan kearifan lokal di daerah yang mengedapankan adat ketimuran.
Sekitar pukul 10.00 wib pagi, sejumlah tokoh agama ulama dan kiai yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Ulama Sampang (F-SUS) mendatangi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten setempat untuk penyampaian sikap ketidaksepahaman lantaran dinilai bertentangan dengan kearifan lokal.
Juru Bicara F-SUS, KH Yahya Hamidudin menyatakan, harapan singkat para ulama di Sampang yaitu perlunya untuk mempertimbangkan kembali adanya SKB tiga Menteri tentang penggunaan pakaian seragam sekolah, baik untuk peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan.
Sehingga menurutnya, para ulama saat ini akan tetap mempertahankan kearifan lokal. SKB tiga Menteri RI tersebut yaitu MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN RI NOMOR : 02/KB/2021, MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 025-99 TAHUN 2021, DAN MENTERI AGAMA RI NOMOR : 0219 TAHUN 2021, TENTANG PENGGUNAAN PAKAIAN SERAGAM DAN ATRIBUT BAGI PESERTA DIDIK, PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN YANG DISELENGGARAKAN PEMERINTAH DAERAH PADA JENJANG PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
“Kami berharap ada upaya-upaya yang bisa memberikan kebijakan terbaik untuk bangsa ini,” ujarnya usai beraudiensi dengan Pimpinan dan asejumlah anggota DPRD Sampang, di ruang Komisi Besar, Rabu, 17 Februari 2020.
Lanjut KH Yahya menyatakan, harapan yang paling diinginkan selain untuk dipertimbangkan yaitu adanya pencabutan SKB tiga Menteri RI tersebut.
“Makanya tadi kami minta dipertimbangkan kembali, atau perlu dicabut,” pungkasnya.
Menanggapi kedatangan sejumlah ulama, Wakil Ketua I DPRD Sampang Amin Arif Tirtana mengaku berterimakasih atas kedatangan sejumlah Kiai dan tokoh masyarakat ke kantornya. Berkaitan dengan SKB tersebut, pihaknya mengaku memiliki persepsi yang sama dengan para tokoh agama yakni diberikannya kebebasan bagi daerah untuk mengatur sesuai dengan kultur daerah.
“Karena sebelumnya, kami sudah ada Perda No 4 Tahun 2016 dan ada Perbup No 37 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan pendidikan. Jelas kami sudah punya. Namun di sisi lain, di SKB itu ada kewajiban kami untuk mencabut peraturan yang ada,” katanya.
Menurutnya, dalam SKB tersebut mengatur pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Menengah atau tingkat SMP yang diselenggarakan oleh pemerintah atau kata lain berstatus negeri.
“Kami berharap penguatan Perda dan Perbup tetap ada. Makanya kami sependapat dengan MUI agar SKB tersebut dipertimbangkan kembali dan di daerah diberikan kebebasan untuk mengaturnya sendiri,” tegasnya.
Untuk itu, Politikus PPP ini akan segera berkoordinasi dengan Bupati setempat dan secara berjenjang akan berkoordinasi dengan pemerintah Provinsi dan pusat.
“Kami akan tetap berkoordinasi secara berjenjang, nanti akan tetap kami suarakan yang sama,” katanya mempertegas.
langkah itu, lanjut Amin Arif Tirtana menilai, dalam SKB tersebut tidak hanya mengatur pada pakaian peserta didik melainkan pula kepada pendidik dan tenaga kependidikan.
“Jadi bisa saja guru berpakain Ukensi jika aturan kami di daerah itu dicabut. Nah itulah yang sebenarnya kami pikirkan. Tadi saat audiensi saja kami bilang, kalau SD sih, ya masih bisa melihat (pakaian ukensi), tapi kalau sudah siswa SMP bahkan guru, gimana,” uangkapnya. (MUHLIS/ROS/VEM)