Oleh: MH. Said Abdullah (*)
Pada saat nama Jalaluddin Rakhmat, terdaftar sebagai Calon Legislatif PDI Perjuangan, pada Pemilu Legislatif 2014, banyak kalangan intelektual bertanya-tanya. Apa yang melatarbelakangi cendikiawan muslim terkemuka itu masuk ke partai nasionalis, yang terkenal sebagai partai Wong Cilik.
Dua kata yaitu cendikiawan dan Wong Cilik saja memperlihatkan sebuah jarak sintaksis. Cendikiawan mewakili elit pemikir sementara Wong Cilik menggambarkan komunitas akar rumput, rakyat jelata dan berbagai sebutan lain yang menegaskan tentang masyarakat lapisan bawah. Dan, Kang Jalal, panggilan akrab Jalaluddin Rakhmat sebagai satu dari sedikit cendikiawan muslim, yang mewarnai dunia pemikiran negeri ini justru memilih berlabuh di partai Wong Cilik itu.
Platform berpikir Kang Jalal, yang banyak diwarnai idiom mazhab Syiah tentang perjuangan kaum tertindas (musthadz’afin) sedikit memberi penjelasan. Ada kesesuaian posisi sosial memang Wong Cilik dan kaum Mustad’afin walau tak selalu kata pertama mengalami nasib serupa: tertindas.
Namun tetap, pilihan memasuki PDI Perjuangan, dengan aroma pandangan nyinyir seakan kurang peduli pada keislaman, tetap menimbulkan keheranan pada sebagian orang, terutama dari kalangan intelektual muslim berpikiran sempit.
Tidak ada penjelasan terbuka dari pria kelahiran Bandung, 29 Agustus 1949 tentang pilihan memasuki PDI Perjuangan. Satu-satunya penjelasan, yang tak pernah dijelaskan oleh Kang Jalal sendiri adalah harapan tinggi kepada PDI Perjuangan sebagai partai nasionalis, yang memiliki komitmen memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat, tanpa kecuali. Seluruh rakyat negeri ini, tanpa membedakan agama, suku, golongan, kelompok dan lainnya.
Aktivitas Kang Jalal, sebagai penganut mazhab Syiah, yang di negeri ini sesekali masih menjadi kontroversi dan bahkan sempat mengalami perlakuan kekerasan seperti kejadian di Sampang, Madura, beberapa waktu lalu, memberi sedikit jawaban mengapa memilih jalur politik PDI Perjuangan. Pilihan berada di Komisi VIII DPR RI, yang membidangi antara lain Agama dan Sosial, makin menjelaskan harapan kepada PDI Perjuangan.
Martin van Bruinessen, intelektual ahli tasawuf dari Belanda memberi paparan menarik tentang pilihan PDI Perjuangan. “Saya menduga itu karena merasa butuh pelindung politik untuk melindungi minoritas Syiah yang semakin diserang. Tetapi, saya tidak pernah mendengar penjelasan langsung dari dia,” tegas Martin, ketika menulis kenangan meninggalnya Kang Jalal.
Di kalangan akademisi, rasanya hampir tak ada yang meragukan kualitas master komunikasi dari Iowa State University dan doktor ilmu politik Australian National University itu. Demikian besarnya peran kecendikiawannya, seorang aktivis muslim memberi penegasan sangat tepat ketika menyebut sangat banyak anak-anak muda negeri ini, para mahasiswa, aktivis, terutama yang berlatar belakang Islam, berhutang budi pada Kang Jalal. Ia, demikian luas mewarnai pemikiran Islam modern, dengan kajian-kajian keislaman berwawasan sangat plural, memadukan pemahaman Islam klasik dan keislaman modern.
Bahkan, mereka yang mengambil jarak dengan keterikatan mazhab Kang Jalal pun mengakui pengaruh pemikiran Kang Jalal. Dalam keterbatasan akibat resistensi pada mazhab Kang Jalal pun demikian mempengaruhi khasanah pemikiran Islam negeri ini. Apalagi jika ada persentuhan komunikasi tanpa jarak mazhab.
Berlatar belakang pendidikan komunikasi, sejatinya Kang Jalal, justru sangat luar biasa menguasai pemikiran keislaman klasik dan modern. Penguasaan bidang komunikasi yang sangat kuat seperti menjadi alat ampuh dalam membedah khasanah keislaman. Piawai beretorika dan menulis, makin mengukuhkan peran penting Kang Jalal. Ia tak hanya ahli ilmu komunikasi tapi juga praktisi yang tak ada duanya dalam keterampilan berkomunikasi di negeri ini.
Seperti ditegaskan Martin van Bruinessen, mungkin tak mudah dapat menangkap dan memahami serta menerima pikiran politik dan keagamaan Kang Jalal yang berbeda dari arus utama keislaman masyarakat negeri ini. Namun demikian, di era sekarang ini, belajar dari perjalanan hidup Kang Jalal, terasa urgensi masyarakat negeri ini, terutama kalangan umat Islam, untuk bersikap lebih terbuka dan arif dalam berinteraksi dengan pemikiran berbeda. Apalagi di tengah ruang informasi dan komunikasi yang sangat terbuka seperti sekarang ini.
Jika seseorang meyakini pemikiran dan pilihan sikap beragamanya, seyogyanya tidak perlu khawatir terhadap pemikiran berbeda. Justru realitas pemikiran berbeda dapat menjadi pembanding dan sangat mungkin penguat pilihan pemikiran. Dalam bahasa sederhana, jika seseorang yakin dengan mazhab Suni, mengapa harus khawatir terhadap keberadaan mazhab lain.
Kearifan dan kedewasaan serta kematangan berpikir seperti itulah yang perlu dikembangkan di negeri ini. Pluralisme pemikiran adalah keniscayaan, yang tak bisa dihindari. Merupakan realitas, yang perlu disikapi secara dewasa, rasa percaya diri, terbuka serta yang utama mengedepankan toleransi, legawa, terbuka menghadapi pemikiran dan sikap berbeda orang lain.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyampaikan takziah menarik. Kang Jalal disebut Haedar dikenal sebagai cendikiawan muslim yang produktif. “Mungkin di belakang hari memilih jalur pemikiran yang berbeda dari arus utama cendikiawan Muslim Indonesia. Tetapi hal itu menjadi bagian dari dinamika seseorang dalam perjalanan hidupnya, sekaligus keragaman dalam pemikiran keislaman di dunia Islam.”
Selamat jalan Kang Jalal. Jejak pemikiran dan kiprah intelektual Kang Jalal, akan tetap selalu mewarnai dinamika pemikiran masyarakat negeri ini. (*)
*Ketua Banggar DPR RI.